Oleh : Mega Oktaviany *
Kapitalisme adalah sistem sosial yang didasarkan pada pengakuan hak-hak individu. Dalam ranah ekonomi, kapitalisme memisahkan intervensi negara dengan perekonomian, seperti halnya ada sekuler yang memisahkan agama dengan negaranya. Dalam perekonomian kapitalisme menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya. Kapitalisme sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme sebagai bagian dari gerakan individualisme.
Kapitalisme adalah sistem sosial yang didasarkan pada pengakuan hak-hak individu. Dalam ranah ekonomi, kapitalisme memisahkan intervensi negara dengan perekonomian, seperti halnya ada sekuler yang memisahkan agama dengan negaranya. Dalam perekonomian kapitalisme menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya. Kapitalisme sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme sebagai bagian dari gerakan individualisme.
Dalam
perjalanannya, kapitalisme telah memberikan efek buruk bagi
perekonomian dan kesenjangan sosial yang semakin menganga, terjadinya
gap (jurang pemisah) antara si kaya dan si miskin. Itu semua merupakan
dampak dari kejamnya kapitalisme yang terjadi di di beberapa negara
berkembang termasuk Indonesia. Negara Indonesia merupakan negara
demokrasi, dan menurut Karl Marx negara demokrasi adalah negara
kapitalis, karena negara dikontrol oleh logika ekonomi kapitalis yang
mendiktekan bahwa kebanyakan keputusan politik harus menguntungkan
kepentingan kapitalis. Dalam hal ini yang diuntungkan adalah para
pemilik modal (kapitalis), sedangkan masyarakat kecil tetap berada dalam
bingkai kemiskinan akibat kapitalisme.
Sudah
banyak perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia seperti Freeport
yang mengekploitasi hasil bumi di Papua dan Exxon Mobil di Aceh, tidak
memperhatikan kesejahteraan rakyat di sekitarnya. Bahkan pemerintah
cenderung berpihak pada investor ketika terjadi sengketa antara pihak
perusahan dan masyarakat sekitar. Keberpihakan kepolisian pada
perusahaan asing di Indonesia seperti dalam tragedi Mesuji maupun Bima
merupakan bukti nyata bahwa republik ini penganut kapitalis. Karena
salah satu ciri negara kapitalis adalah berpindahnya peran pemerintah
yang semula melayani rakyat berubah menjadi pelayan investor atau
pemilik modal. Menurut AM Saefuddin (2011), kapitalisme merupakan suatu
istilah luas yang meliputi: Cara produksi kapitalis, kerangka
sosio-ekonomi kapitalis, mentalitas kapitalistis. Pada pokoknya,
kesemuanya ini hanyalah merupakan tiga segi dari gejala yang sama.
Kapitalisme
sebenarnya telah dimulai saat zaman feodalisme Eropa, dimana
perekonomian dimonopoli oleh kaum bangsawan dan tuan tanah. Perkembangan
awal kapitalisme dimulai sekitar abad 16, dimana saat itu Eropa sedang
giat meningkatkan perbankan komersil. Teori ini berkembang saat
revolusi industri di Inggris, modal dan keuntungan dalam setiap
transaksi sangat diperhitungkan. Kapitalisme yang dianut dalam revolusi
industri merupakan satu revolusi budaya yang bersifat fundamental
dalam perkembangan masyarakat Eropa. Kapitalisme berkembang secara
cepat, dikarenakan bebas dari tekanan agama maupun negara. Perkembangan
kapitalis pasca revolusi Industri meningkat, seiring berdirinya
perusahaan-perusahaan besar di Eropa.
Perkembangan
eksistensi kapitalis sudah banyak di gugat oleh masyarakat, khususnya
di Indonesia. Ini karena memiliki efek buruk oleh masyarakat setempat.
Anggap saja sistem ini kini di rundung duka.
Kapitalis
di kritiki, di cemoh, bahkan di campakkan. Hampir semua masyarakat
memprediksi kapitalis tak bertahan lama. Prediksi yang sangat wajar.
Mengingat sistem ini paham yang lahir dari Adam Smith, dalam bukunya The Wealth of Nation, kurang mendukung masyarkat.
Tapi
sampai sekarang di tengah maraknya berdiri dan perkembangan sistem
perekonomi islam, sistem ini tak goyang dari goncangan yang menimpanya. Mulai dari krisis 1923, 1930, 1940, 2008, hingga 2011 yang belum bisa kita raba kapan berakhirnya. Namun
dari guncangan-guncangan yang dalam tinjauan sosiologi disebut The
Great Disruption tersebut, kapitalisme toh masih bisa eksis. Setidaknya,
ia mengantar dunia memasuki abad 21 dengan segala kecanggihannya
(Djusman Dalle, 2012).
Kalau
kita melihat realita sekarang, bisa jadi kapitalis masih bertahan dan
memanjangkan umur. Ia adaptif dan kontekstual, sehingga setelah layu
kembali berkembang dan di nikmati umat manusia, yang menghujatnya
sekalipun. Bisa jadi bertransformasi dalam bentuk yang lebih membumi
sebagai bentuk inovasi untuk menyalamatkan diri.
Nah,
pertanyaannya sekarang, apakah sistem ekonomi islam mampu menjawab
keluhan-keluhan dari berbagai pengamat ekonomi dan penikmat ekonomi?
Atau kapitalis menuju ajalnya di tengah perkembangan perekonomian islam?
Adaptasi Sistem Ekonomi Islam
Kita
ketahui kemiskinan bahkan pengangguran tiap tahunnya semakin
meningkat. Berhamburan manusia lulusan universitas tak tau arah.
Penduduk yang semakin bertambah.
Kenyataan
yang memprihatinkan dalam kehidupan rakyat banyak di negeri kita ini
selama tahun-tahun terakhir sungguh banyak dan usul-menyusul datangnya.
Namun yang sangat luas dampaknya adalah keterpurukan bidang ekonomi
yang di alami sebagian besar rakyatnya.
Mengapa
sampai sekarang kemelut ekonomi yang menyebar-yang begitu banyak di
derita ditengah-tengah masyarakat luas-masih juga melilit ditengah
kehidupan rakyat banyak. Apa yang sesungguhnya terjadi pada ekonomi
kita?
Prof.
Dr. Mubyarto di acara Memperingati Hari Kebangkitan Nasional tanggal
20 Mei 2005 di Jakarta telah menguraikan bahwa secara ekonomi,
indonesia kembali terjajah oleh kapitalisme global yang lebih sadis dan
lebih kejam ketimbang kolonialisme belanda. Lebih dari itu John
Perkins dalam bukunya, Confessions of an Economic Hit Man, telah
mengakui bahwa dirinya telah di sewa oleh kekuatan kapitalisme global
untuk merusak dan membuat ekonomi negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia, menjadi terjajah dan sangat bergantung pada tuan besarnya,
yaitu kapitalisme global.
Pandangan
dunia kapitalis tidak memberikan kedudukan yang penting kepada
manusia, karena di dasarkan pada prinsip hak-hak individu, yang tidak
menyertakan kepercayaan inheren pada persaudaraan manusia, keadilan
sosial ekonomi, dan hakikat amanat sumber-sumber daya. Mereka terlalu
menekankan konsep, "kelangsungan hidup bagi yang paling kuat" atau
"pertarungan kelas" dan "pemuasan keinginan secara maksimal" atau
"kondisi kehidupan materiil". Mereka tidak memiliki sistem motivasi yang
dapat mendorong manusia untuk berbuat demi kepentingan sosial, yang
tidak selalu seirama demi kepentingan individu, melainkan memerlukan
pengorbanan dari kenyamanan personal dan keuntungan bagi yang lain.
Pandangan yang semacam ini akan terjadi pengaburan arah, kejahatan dan
kemerosotan sosial, dan pada gilirannya degradasi manusia.
Oleh karena itu, pemerintah membutuhkan kontribusi besar dari masyarakatnya dalam merangsang jalannya perekonomian.
Berdasarkan
wacana di atas, ekonomi islam memiliki perbedaan radikal dengan
ekonomi kapitalis. Di mana keimanan, jiwa, akal dan keturunan tidak
mempunyai tempat. Meskipun di anggap penting, mereka dikesampingkan ke
ruang variabel eksogen, sehingga tidak mendapatkan perhatian yang
layak.
Implikasinya
dapat dilihat dari munculnya fakta disparatis (kesenjangan) antara
kuat dan lemah pada berbagai sektor kehidupan, dan munculnya tiga isu:
kemiskinan, kebodohan, dan kebobrokan. Akibat implementasi sistem
ekonomi yang tidak menganggap penting faktor iman, jiwa, akal, dan
keturunan.
Eksploitasi
alam, penjajahan ekonomi, peperangan bisnis, dan segala aktivitas
ekonomi lainnya menjadi suatu alat penumpukkan kekayaan dan pemenuhan
kepentingan golongan, tanpa mempertimbangkan dampaknya pada publik atau
umat, serta pelestarian alam untuk para keturunan kita.
Sistem
ekonomi yang selama ini dikenal dan di implementasikan di dunia dalam
perjalanan sejarahnya lepas dari perspektif moral dan pranata
sosial-budaya. Seperti yang secara tepat ditunjukkan oleh Samuel
Brittan; "Kesalahan terbesar kau sinis adalah meremehkan peran
legitimasi moral dalam perbuatan manusia. Tanpa adanya aturan yang
membatasi pergerakan kepentingan diri sendiri, tak ada organisasi
manusia yang dapat berfungsi". Perkembangan
menjadi segmentatif dan mikro, sehingga hanya bisa di jelaskan secara
parsial fenomena-fenomena kemasyarakatan yang ada.
Sedangkan ekonomi islam memiliki suatu kerangka pemikiran (frame of thought)
yang khas, dengan tujuan khas, dan berbeda dari ekonomi kapitalis.
Ekonomi Islam merupakan salah satu bagian dari keluasan dan kesempurnaan
konsepsi Islam sebagai sarana untuk mengimplementasikan tujuan
kesejahteraan hidup umat manusia.
Sistem
ini tidak saja harus mampu menghapuskan ketidakseimbangan, tetapi juga
menciptakan suatu realokasi sumber-sumber daya dengan caara sasaran
yang efisiensi dan pemerataannya secara stimulan dapat di realisasikan.
Ia harus dapat memotivasi partisipan untuk memegang teguh
prinsip-prinsipnya, dan berbuat terbaik bukan hanya untuk kepentingannya
sendiri, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat.
Sekedar ilustrasi dari fenomena ketidakseimbangan tersebut, terlihat dari data peredaran uang dimuka bumi ini setiap hari, dana yang beredarmencapai US$ 3,4 triliun sampai US$ 4 triliun atau sekitar lebih US$ 1000 tirliun dalam satu tahunnya hanya berkisar US$ 7 triliun. Jadi, arus uang lebihcepat dibandingkan dengan arus barang (Kompas, 19 September 2007).
Sekedar ilustrasi dari fenomena ketidakseimbangan tersebut, terlihat dari data peredaran uang dimuka bumi ini setiap hari, dana yang beredarmencapai US$ 3,4 triliun sampai US$ 4 triliun atau sekitar lebih US$ 1000 tirliun dalam satu tahunnya hanya berkisar US$ 7 triliun. Jadi, arus uang lebihcepat dibandingkan dengan arus barang (Kompas, 19 September 2007).
Dengan
demikian, hampir seluruh dana tersebut (99%) beredar secara maya,
artinya, gentayangan dalam transaksi non sektor riil, seperti peredaran
uang di pasar modal dan pasar uang dunia secara spekulatif. Inilah
ketidakseimbangan antara arsu uang dan barang yang dicela dan dihindari
ekonomi syariah dikategorikan sebagai riba.
Pakar manajemen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala
ketidakseimbangan antara arus moneter dan arus barang / jasa sebagai
adanya decopling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya kegiatan
ekonomi dan bisnis spekulatif, sehingga dunia terjangkit penyakit yang
bernama ekonomi balon (Bubble economy). Disebut dengan balon karena
secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa kecuali
udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong.
Jelaslah
bahwa tidak seperti kapitalisme, sasaran ekonomi islam bersifat mutlak
dan meruapkan hasil logis dari falsafah yang mendasarinya. Mereka
bukanlah elemen gado-gado dari perjuangan untuk mempertahankan hidup dan
dominasi antara kelompok pluralis atau kelas-kelas sosial.
Tak
heran jika para pakar ekonomi Dr. M. Umer Capra dengan pengalamannya
yang luas dalam pengajaran dan riset bidang ekonomi serta pemahamannya
yang bagus tentang syariat islam, mengajukan bahwa hanya ekonomi islam
lah sebagai sistem alternatif yang paling tepat untuk menciptakan
kesejahteraan umat manusia. Ia tidak hanya membahas aspek teoritisnya
saja, melainkan juga aspek aplikasinya, sehingga konsep yang di tawarkan
cukup realistis untuk di operasionalkan dalam kehidupan nyata.[sumber]
0 Komentar