"Tanrigiling dan Hulubalang Tana Toraja" By Ali Wardani

        

        Beberapa batu besar menggelinding dari atas bukit. Turun dengan cepat menuju pinggir sungai. Batu-batu itu menghempaskan apapun yang ada di hadapannya, terus mengelinding ke arah sekumpulan petugas pengumpul upeti yang tengah beristirahat di pinggir sungai. Mereka‒petugas upeti‒sebagian terhempas ke sungai akibat batu-batu itu. Tak lama, dari semak belukar di pinggir sungai muncul seseorang. Ia berbadan tegap, berotot macam binaraga dan memakai pakaian serba hitam termasuk ikat kepalanya. Sorot matanya sangat tajam dengan tatapan sangat intimidatif. Orang itu membawa manurung‒sebutan senjata bertuah dalam bahasa Duri‒yang diikat di pinggangnya. Tentu saja, orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Tanrigiling yang perkasa.

        “Wahai petugas istana, sudikah nian kiranya mengembalikan sebagian harta rakyat itu. Tidakkah kalian merasa iba melihat rakyat yang melarat akibat upeti yang memberatkan?”

          “Siapalah dirimu wahai pemuda? berani memerintah kami!” jawab seorang dari petugas upeti itu yang tak lain adalah pemimpin mereka. Ia kemudian mengambil manurung miliknya. Memasang wajah waspada kepada Tanrigiling.

            “Dengarlah kawanku, aku tak ingin ada korban di sini. Baiknya serahkan saja upeti itu dan nyawa kalian akan kuampuni!” jawab Tanrigiling mengancam.

        Tanrigiling mulai kehilangan kesabaran. Hatinya kuat namun sedikit ragu. Ia tak ingin membunuh meskipun musuhnya petugas kerajaan yang durjana. Walau Tanrigiling terkenal sebagai seorang pendekar yang sakti, ia tak pernah membunuh siapapun. Tanrigiling tetaplah orang yang sangat mencintai kedamaian. Badannya yang kuat dan kemauannya yang keras ternyata tak sekeras hatinya. Hatinya tetaplah lembut, selembut kapas.

        Tanrigiling harus mengambil kembali harta rakyat itu. Dipertemukannya kedua telapak tangannya mirip patung budha. Ia menutup matanya kemudian komat-kamit membaca mantra. Tak berselang lama, angin yang tadinya tenang menjadi riuh, ribut dan gusar. Angin itu menerbangkan pasir di pinggir sungai hingga menutupi pandangan. Mirip badai pasir di tengah gurun yang tandus. Semua petugas upeti tidak dapat bergerak bahkan membuka matanya. Sekali mereka membuka mata, maka pasir begitu saja masuk ke mata mereka. Membuat perih tak berkira. Tak hanya angin, air sungai yang tadinya juga tenang menjadi beringas dengan ombak yang menggulung. Semua keadaan telah berubah menjadi mencekam.

        Setelah beberapa saat, tiba-tiba semua kembali tenang. Tenang tanpa riuh sedikitpun. Para pegawai upeti itu kemudian membuka matanya. Betapa mereka kaget. Semua peti hasil upeti hilang. Hilang bersama angin, riuh, dan tentu saja Tanrigiling.

*

        Adapun di istana nan jauh di Tana Toraja, sang raja mendengar kabar bahwa hasil upeti kerajaan telah dicuri oleh Tanrigiling. Ia murka mendengarnya. Telinganya gusar tak karuan. Matanya merah marah. Bersama hati yang panas, ia memanggil Hulubalang kerajaan.

            “Tahukah kau alasan dirimu kupanggil wahai Hulubalang?”

            “Tentu saja tidak paduka!”

       “Pergilah ke hutan nan jauh di utara, kudengar Tanrigiling tinggal di sana. Bawa dia ke hadapanku hidup atau mati. Beritakan ke seluruh negeri siapapun yang berhasil menangkapnya akan kuberi hadiah. Termasuk kau!”

            “Baik paduka!’

            Sang Hulubalang akhirnya berangkat keutara bersama puluhan anak buahnya. Mereka akan menangkap Tanrigiling. Desa apapun, wilayah apapun yang mereka lewati dipasangi pengumuman hadiah bagi siapapun yang berhasil menangkap Tanrigiling. Atau setidaknya, memberitahu mereka di mana Tanrigiling itu berada. Sebab, mereka tak tahu persis di Utara bagian mana Tanrigiling tinggal.

            Akhirnya, seorang dukun tua membaca pengumuman yang dibuat oleh Hulubalang. Tanpa pikir panjang, dukun tua itu menemui Sang Hulubalang. Dia memberitahu Hulubalang bahwa Tanrigiling hidup di sebuah gubuk tua dekat sungai di utara. Jarak tempuhnya hanya dua hari pejalanan. Tentu saja, dengan memberikan informasi itu ke Hulubalang, si dukun tua itu diberi sedikit emas oleh Sang Hulubalang.

*

            Di hutan nan jauh di utara. Seorang perempuan cantik tengah memetik beberapa jamur yang tumbuh subur di sana. Perempuan itu punya senyum yang indah, wajah yang bercahaya, dan rambut hitam panjang. Tubuhnya tinggi semampai. Binar matanya pun jernih seperti air. Jika ia berjalan, kupu-kupu, burung kutilang, rubah, rakun dan penghuni hutan lainnya tak henti memandanginya. Perempuan cantik itu tak lain adalah istri Tanrigiling.

        Tatkala istri Tanrigiling sibuk memetik jamur. Dia mendengar suara orang-orang yang tertawa. Dekat dan semakin dekat. Suara itu terdengar seperti sekumpulan pria yang bercakap, adakalanya terdengar beberapa anjing yang menyalak. Selain itu terdengar pula gemerincing besi yang sudah bareng tentu manurung.

            “Aku akan menangkap Tanrigiling busuk itu!” sesumbar Sang Hulubalang.

            Mendengarnya, perempuan elok itu berlari dari dalam hutan menuju sebuah rumah kecil di tepi hutan. Ia berlari tanpa henti, tanpa menoleh dan tanpa memilah jalan yang dilaluinya. Ia terus berlari menembus ilalang, bebatuan dan dedaunan pohon jati yang sudah kering. Sampai pada sebuah rumah tua yang lebih pantas disebut gubuk, gubuk tua yang menyedihkan. Tampak dari rumah itu sebuah nostalgia akan perang, cinta dan kesederhanaan. Benar-benar gubuk yang menentramkan dengan atap rumbia dan dinding bambu atau disebut rinding dalam bahasa Duri.

            Istri Tanrigilingberlari masuk ke gubuk tua. Berlari macam orang kesetanan, pedagang kaki lima yang dikejar Polisi Pamung Praja atau parahnya orang yang dikejar-kejar ibu kos karena telat bayar sewa. Ia menemui suaminya yang tengah asyik memilah daun sirih yang baru saja ia petik.

            “Pasukan! Pasukan Tana Toraja telah tiba!”

         “Sudahlah, mereka mungkin hanya datang untuk rekreasi!” jawab Tanrigiling tenang sembari terus memilah daun sirih.

    “Rekreasi katamu? Orang rekreasi mana yang bawa manurung? Jelas mereka datang mencarimu!” sanggah istri Tanrigiling terengah-engah karena berlari.

            “Sudah, tak perlu khawatir!”

          Tanrigiling menatap istrinya yang lelah berlari itu. Ia tetap tenang sambil tersenyum. Istrinya kebingungan, dipikirnya Tanrigiling sudah gila, tak waras, stres atau kata apapun yang mewakili orang yang kehilangan akalnya. Mereka saling menatap, membuat suasana menjadi hening. Tiba-tiba dalam keheningan itu terdengar langkah kaki puluhan tentara Tana Toraja yang telah tiba di rumah mereka. Para tentara itu terlihat garang dengan pakaian serba hitam, manurung tajam yang terikat di pinggang dan ikat kepala khas Toraja yang tentu saja berwarna hitam. Tentara Tana Toraja itu mengerumuni rumah Tanrigiling membentuk sebuah lingkaran. Rumah itu berada tepat di pusat lingkaran. Setelah itu, majulah Sang Hulubalang.

    “Wahai Tanrigiling, menyerahlah! Tak ada jalan lari bagimu. Kau ditangkap atas dasar pemberontakan kepada kerajaan!”

    Setenang langit Tanrigiling bergegas memakai bajunya, mengikatkan sarung miliknya ke pinggang dan mengambil manurung miliknya yang bernama rangkisi. Ia mencium kening istrinya kemudian keluar. Istrinya terlihat khawatir, wajahnya pucat seperti ikan ditinggal air, manusia apabila menahan napasnya atau seperti wajah mayat yang dingin tak bernyawa.

        “Sudikah nian wahai Hulubalang memberitahu kesalahan hamba sehingga kerajaan menyebut hamba sebagai pemberontak?” kata Tanrigiliing dengan lembut.

      “Tanrigiling! Seorang pendekar tersohor Masserempulu‒istilah lain dari kabupaten Enrekang‒Kau merampok harta upeti kerajaan dan membagikannya kepada rakyat yang tidak pantas mendapatkannya!” sahut Hulubalang yang mulai hilang kesabarannya.

        “Maaf beribu maaf tuanku, hamba hanya memberikan apa yang pantas rakyat dapatkan dari upeti yang kiranya sangat memberatkan itu!”

      Sang Hulubalang pungeram dengan jawaban Tanrigiling. Mukanya berubah merah tak karuan, telinganya semakin panjang dan kedua alisnya pun saling bertemu. Ia memerintahkan puluhan prajuritnya menangkap Tanrigiling. Puluhan prajurit mengepung Tanrigiling dengan masing-masing manurung di tangannya. Mereka benar-benar bernafsu menangkap Tanrigiling, apalagi dengan besarnya hadiah untuk siapa saja yang bisa menangkapnya hidup atau mati.

    Tak terlihat sedikitpun Tanrigiling takut, gentar atau segan kepada puluhan prajurit itu. Iamengeluarkan rangkisi dari sarungnya. Rangkisi menyala-nyala bak purnama ketika keluar dari sarungnya. Hanya sekali tebasan rangkisi mampu merobohkan beberapa prajurit terkuat Tana Toraja itu. Anehnya, bahkan anjing, kucing, ayam, tawon dan semua hewan peliharaan Tanrigiling ikut membantu tuan mereka. Anjing menggigit sekuat mereka, kucing dan ayam mencakar seperti tak pernah mencakar sebelumnya dan tawon menyengat dengan sangat ganas. Bahkan, bebatuan di tanah itu menggelinding menyapu rata beberapa prajurit Tana Toraja. Keperkasaan Tanrigiling, kesaktian rangkisi, bantuan dari binatang serta alam yang berpihak kepada Tanrigiling membuat takut Sang Hulubalang. Ia takut dan berlari tunggang langgang tak tau arah. Benar-benar takut sampai ia meninggalkan manurung dan bekal miliknya. Sang Hulubalang melarikan diri nan jauh ke arah timur.

        Melihat semua anggota pasukan Tana Toraja tertebas bagai rumput. Hati Tanrigiling mulai gundah. Tanrigiling seakan tidak percaya bahwa hari itu, ia yang selama ini tak pernah membunuh, akhirnya membunuh meskipun demi melindungi diri dan istrinya. Ia berlinang air mata. Samar Tanrigiling memperhatikan tangannya yang berlumuran darah dan mati rasa. Kini Tanrigiling menyadari sesuatu, bahwa ternyata pertikaian ataupun jalan yang ia ambil dengan menjadi perampok untuk membantu rakyat adalah salah. Kini ia menyadari bahwa perang ternyata hanya membawa kita pada kepedihan yang mendalam. Tanrigiling menyesali segala perbuatannya.

        Ditemani hati yang cemas Tanrigiling berjalan menuju sebuah gua tepat di gunung yang berada di atas hutan. Ia lantas bersumpah, “Hari ini adalah hari terakhir orang melihatku, dan karenanya kutinggalkan mereka sebuah kenang-kenangan!” sembari menempelkan tangannya yang berlumuran darah kepada dinding gowa yang dingin. Ia menanggalkan bekas tangannya di dinding gowa itu dengan darah sebagai tintanya.

        “Dan begitulah bekas telapak tangan Tanrigiling menjadi situs berharga yang berada di kecamatan Buntu Batu. Itulah telapak tangan yang kau lihat tadi sore Arif” kata Puang Arung menjelaskan kepada cucunya.

            “Kalau rangkisi, Kek? Apakah senjata sehebat itu benar ada?”

         “Tentu saja ada. Dahulu disimpan para kepala adat kampung Panyurak. Menurut masyarakat Panyurak, konon rangkisi itu bisa berubah menjadi ular hitam dan tidak akan terlepas dari sarungnya jika yang memakainya berpakaian yang ada hitamnya.”

            “Apa aku boleh melihatnya,Kek?”

        “Hahahaha, sekarang sudah tidak bisa,Rif. Rangkisi sudah hilang sejak pemberontakan DI-TII di Sulawesi Selatan yang dipimpin Kahar Muzakkar. Ada yang mengatakan kalau rangkisi sengaja dimusnahkan tentara Siliwangi saat itu, karena takut dijadikan senjata pemberontakan. Ada juga yang mengatakan kalau rangkisi menghilang sendiri. Konon ia pergi mencari tuannya Tanrigiling yang perkasa.”

            “Kalau begitu Tanrigiling masih hidup?”

        “Begitulah, menurut cerita, Tanrigiling dan istrinya mengasingkan diri ke sebuah pulau keramat di daerah Pare-Pare. Pulau itu adalah pulau supranatural, mistis, penuh misteri atau sebuah pulau dari negeri entah-berantah. Tak ada yang tahu letaknya di mana? Bagaimana cara ke sana dan bentuknya bagaimana?” jelas Puang Arung. Namun, ia kaget melihat Arif telah tertidur pulas di atas kasurnya. 

Posting Komentar

0 Komentar