script> var linkMagzSetting = { menuSticky : true, relatedPosts : true, jumlahRelatedPosts: 4, relatedPostsThumb: true, infiniteScrollNav : true, tombolDarkmode : true, scrollToTop : true, fullwidthImage : true, bacaJuga : true, jumlahBacaJuga : 3, judulBacaJuga : "Baca Juga", showHideTOC : true, judulTOC : "Daftar Isi", tombolPesanWA : true, judulPesanWA : "Pesan via WhatsApp", nomorWA : 6285729848098, teksPesanWA : "Halo admin. Saya mau pesan", };
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Etika dalam kegiatan produksi dan pemasaran


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di tengah kemajuan zaman modern yang kapitalis sekarang ini, ada kecenderungan masyarakat dunia untuk semakin akrab dengan tata nilai kehidupan. Dalam sebuah survei tahun 1991 yang dilakukan di Amerika terhadap sekitar 2.000 perusahaan mengungkapkan banyak persoalan yang menjadi konsen komunitas manajer, seperti penyalahgunaan minuman keras dan alkohol, karyawan yang mencuri, conflict of interest, isu pengawasan kualitas, diskriminasi dalam promosi dan pengangkatan karyawan, penyalahgunaan aset perusahaan dan lain sebagainya, dianggap sebagai persoalan yang dihadapi.[1]
Semua ini adalah persoalan perilaku yang mentradisi dan dianggap biasa selama ini, tetapi mulai dipersepsi sebagai sesuatu yang problematik bagi kemajuan perusahaan bahkan dianggap sebagai anomali yang harus dicarikan solusi. Untuk itu ada hajat besar dari perusahaan-perusahaan tersebut untuk meletakkan software yang dapat menjadi tata nilai yang bisa dipegang oleh stakeholders dan membawa manfaat bagi semua. Maka, perangkat lunak yang menjadi pijakan para stakeholders itulah yang disebut sebagi etika atau kode etik dalam berbisnis.
Perhatian khusus dunia usaha Barat terhadap konsep kode etik dalam bisnis di atas menurut Dr. Husain Shahata didasari oleh beberapa alasan berikut:[2] Pertama, tumbuh suburnya immoralitas yang terjadi di antara para eksekutif perusahaan dan para pegawainya sehingga membuat perusahaan harus merugi dan gagal. Kedua, studi lapangan yang dilakukan membuktikan bahwa perusahaan yang menerapkan kode etik yang superior punya nama dan reputasi yang baik sehingga mendapatkan keuntungan.
Islam sebagai agama dengan sistem komprehensif juga mengatur aspek-aspek di atas dengan basis moralitas. Islam mengombinasikan nilai-nilai spiritual dan material dalam kesatuan yang seimbang dengan tujuan menjadikan manusia hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Tetapi persoalan kemudian bahwa konsep materialistis yang berkembang di alam modern sekarang ini telah menyeret manusia pada kondisi di mana nilai-nilai spiritual terpinggirkan. Hal ini terjadi terutama di kalangan kaum pebisnis yang pada gilirannya berimbas negatif terhadap lapisan lain. Artinya, paradigma yang terbangun di masyarakat bahwa harta, jabatan, dan kekuasaan menjadi tolak ukur ‘baik’ dan ‘tidak’-nya seseorang.

Bila hal demikian tumbuh dan berkembang ia dapat berefek negatif bagi nilai-nilai yang selama ini eksis, dan semua orang akan berpacu meraih keuntungan material sebanyak mungkin walau on the expenses of others. Realitas terkikisnya nilai-nilai luhur dan berkembangnya keinginan untuk dinilai ‘baik’ secara sosial dapat memupuk jiwa korup dan permisif terhadap ketidak-profesionalan kerja baik di birokrasi, eksekutif karyawan, atau buruh. Meritokrasi bukan sebagai ukuran dalam profesionalisme, namun materi sebagai
barometernya.[3]
Di dalam persaingan dunia usaha yang sangat kompetitif ini, etika bisnis merupakan sebuah harga yang tidak dapat ditawar lagi. Memperlakukan karyawan, konsumen, pemasok, pemodal, dan masyarakat umum secara etis, adil dan jujur adalah satu-satunya cara supaya kita dapat bertahan di dalam dunia bisnis seperti saat ini. Perilaku etis sangat diperlukan untuk sukses dalam sebuah bisnis. Bisnis apapun, tentu akan melalui tahap-tahap sebelum akhirnya bisa dinikmati publik. Perilaku bisnis berdasarkan etika perlu diterapkan meskipun tidak menjamin berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, akan tetapi setidaknya akan menjadi rambu-rambu pengaman apabila terjadi pelanggaran etika yang menyebabkan timbulnya kerugian bagi pihak lain. Masalah pelanggaran etika yang sering muncul antara lain, dalam hal mendapatkan ide usaha, memperoleh modal, melaksanakan proses produksi, pemasaran produk, pembayaran pajak, pembagian keuntungan, penetapan mutu, penentuan harga, pembajakan tenaga profesional, penguasaan pangsa pasar dalam satu tangan, persengkokolan, penekanan upah buruh dibawah standar, produksi dan pemasaran dan sebagainya. Ketidaketisan perilaku berbisnis dapat dilihat hasilnya, apabila merusak atau merugikan pihak lain.
Perilaku tidak etis dalam kegiatan bisnis sering juga terjadi karena peluang-peluang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang kemudian disahkan dan disalah gunakan dalam penerapannya dan kemudian dipakai sebagai dasar untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar etika bisnis.
Urgensi bisnis tidak bisa dipandang sebelah mata. Bisnis selalu memegang peranan vital di dalam kehidupan sosial dan ekonomi manusia sepanjang masa, dan ini juga masih berlaku di era kehidupan seperti saat ini. Karena kekuatan ekonomi mempunyai kesamaan makna dengan kekuatan politik, sehingga urgensi bisnis mempengaruhi semua tingkat individu, sosial, regional, nasional, dan internasional. Tidak mengherankan apabila banyak masyarakat muslim terlibat dalam berbagai kegiatan bisnis atau yang lainnya.[4]
Terlibatnya masyarakat muslim di dalam dunia bisnis bukanlah hal yang baru. Pada dasarnya karena islam menganjurkan umatnya untuk bermuamalah, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ketika Islam diyakini sebagai suatu agama sekaligus suatu sistem, maka pertanyaan yang timbul adalah dapatkah Islam memberikan tuntunan beretika dalam bisnis ? Dengan adanya tuntunan tersebut diharapkan mampu memberikan nuansa bisnis yang Islami.
Sistem etika Islam berbeda dari sistem etika sekuler dan dari ajaran moral yang diyakini oleh agama-agama lain. Islam memiliki pedoman dalam mengarah-kan umatnya untuk melaksanakan amalan. Pedoman tersebut adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sebagai sumber ajaran Islam, setidaknya dapat menawarkan nilai-nilai dasar atau prinsip-prinsip umum yang penerapannya dalam bisnis disesuai-kan dengan perkembangan zaman dan mempertimbangkan dimensi ruang dalam waktu.[5]
Islam seringkali dijadikan sebagai contoh tatanan kehidupan. Keadaan seperti ini digunakan untuk pengembangan lanjutan terhadap tatanan kehidupan tersebut, termasuk juga dalam tatanan kehidupan berbisnis.
Bisnis merupakan kegiatan muamalah yang pertama kali menanggalkan etika, kemudian disusul oleh bidang politik, dan terakhir adalah persoalan seks. Bisnis yang sehat adalah bisnis yang berlandaskan pada etika. Oleh sebab itu, pelaku bisnis muslim hendaknya mempunyai kerangka etika bisnis yang kuat, sehingga dapat mengantarkan aktivitas bisnis yang nyaman dan berkah.[6]
Bisnis tidak terpisah dari etika dikarenakan pertama, bisnis tidak bebas dari nilai. Kedua, bisnis merupakan bagian dari sistem sosial. Ketiga, aplikasi bisnis identik dengan pengelolaan bisnis secara profesional. Perkembangan bisnis atau perusahaan, baik sebagai akibat maupun sebagai salah satu sebab per-kembangan politik, ekonomi sosial maupun teknologi serta aspek lingkungan sekitarnya, jika selama ia berinteraksi dan menghasilkan barang dan jasa bagi masyarakat yang membutuhkannya, maka bisnis atau perusahaan itu harus menyadari akan tanggungjawab terhadap lingkungannya, khususnya tanggung jawab sosial dengan segala aspeknya. Agar suatu perusahaan atau bisnis dapat mencapai tujuannya secara kontinu dengan dukungan masyarakat luas, maka manajemen perusahaan harus menjaga efektivitas interaksi yang berlangsung antara perusahaan dan konsumen dan stakeholder-nya dengan cara-cara yang berdasarkan niali-nilai dan norma-norma etika bisnis.[7]
Pada hakikatnya etika merupakan bagian integral dalam bisnis yang dijalankan secara profesional. Dalam jangka panjang, suatu bisnis akan tetap berkesinambungan dan secara terus-menerus benar-benar menghasilkan keuntung-an, jika dilakukan atas dasar kepercayaan dan kejujuran. Demikian pula suatu bisnis dalam perusahaan akan berlangsung bila bisnis itu dilakukan dengan memberi perhatian kepada semua pihak dalam perusahaan (stake holders-approach). Inilah sebagian dari tujuan etika bisnis yaitu, agar semua orang yang terlibat dalam bisnis mempunyai kesadaran tentang adanya dimensi etis dalam bisnis itu sendiri dan agar belajar bagaimana mengadakan pertimbangan yang baik secara etis maupun ekonomis.[8]




BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.    Teori-teori Para Ahli
Dari hasil wacana di atas menunjukkan berbagai macam konsep pemikiran dari para ahli tentang Etika Bisnis Islam yang pada intinya mengarah pada suatu kode etik kegiatan yang terjadi dimasyarakat pada umumnya. Seperti halnya kegiatan produksi dan pemasaran. Berikut pendapat para ahli yang telah mengkaji mengenai etika, bisnis dalam islam, produksi dan pemasaran dalam islam.
1.      Menurut Rafiq Issa Beekun, etika dapat didefinisikan sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan yang baik dari yang buruk. Etika adalah bidang ilmu yang bersifat normatif karena ia berperan menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh seorang individu. Etika bisnis, kadangkala merujuk kepada etika manajemen atau etika organisasi, yang secara sederhana membatasi kerangka acuannya kepada konsepsi sebuah organisasi.[9]
2.      Menurut pak Muhammad, bisnis berjalan sebagai proses yang telah menjadi kegiatan manusia sebagai individu atau masyarakat untuk mencari keuntungan dan memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya. Sedangkan etika adalah ilmu yang berisi patokan-patokan mengenai apa-apa yang benar atau salah, yang baik atau buruk, yang bermanfaat atau tidak bermanfaat.[10] Menurutnya juga bisnis dan etika adalah dua konsep yang berbeda bahkan tidak memiliki keterkaitan di antaranya. Jika pun ada malah dipandang sebagai hubungan negatif dimana, praktek bisnis merupakan kegiatan yang bertujuan mencapai laba sebesar-besarnya dalam situasi persaingan bebas. Sebaliknya etika bila diterapkan dalam dunia bisnis dianggap akan mengganggu upaya mencapai tujuan bisnis.[11]
3.      Menurut Ika Yunia, bisnis adalah pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau memberikan manfaat.[12]
4.      Para ahli ekonomi mendefinisikan produksi sebagai “menciptakan kekayaan melalui eksploitasi manusia terhadap sumber-sumber kekayaan lingkungan”.[13] Kekayaan alam ini meliputi kekayaan fauna dan flora, pertambangan, matahari dan bulan.
5.      Pemasaran dapat didefinisikan sebagai hasil aktivitas bisnis yang mengarahkan arus barang dan jasa dari produsen ke konsumen yang mencakup pembelian, penjualan, transportasi, pergudangan, standardisasi, tingkatan, financing, dan risiko.[14]
6.      Philip Kotler memberikan definisi pemasaran sebagai sebuah proses dalam masyarakat yang dengannya seseorang atau kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan cara menciptakan, memberi-kan atau tukar-menukar produk dan jasa dengan orang lain.[15]
B.     Pendapat Pemakalah
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas tidak menjadikan konsep pemahaman yang mutlak mengenai definisi etika, bisnis, produksi dan pemasaran dalam makalah ini. Melainkan sebagai acuan atau referensi tambahan dalam melengkapi pengertian etika, bisnis, produksi dan pemasaran, sehingga pemakalah dapat menarik garis besar apa itu etika, apa itu bisnis, dan apa itu produksi dan pemasaran yang dapat menjelaskan isi dari makalah ini.
Etika adalah studi ilmu tentang perilaku manusia yang menentukan apa-apa yang baik atau buruk yang bersifat normatif, rasional dan humanis. Bisnis adalah kegiatan aktivitas manusia yang bersifat materialistik yang dimana sebagai pemenuhan kebutuhan hidupnya. Produksi adalah aktivitas untuk menciptakan atau menghasilkan sesuatu berupa barang atau jasa. Pemasaran adalah aktivitas atau kegiatan mempertukarkan atau memindahkan barang dan jasa dari produsen ke konsumen.



BAB III
ANALISIS KOMPARATIF
A.    Bisnis Sebagai Suatu Sistem
Bisnis merupakan kegiatan yang berhubungan dan berkepentingan dengan lingkungan. Lingkungan merupakan suatu sistem. Di dalam sistem, terdapat variabel-variabel atau faktor-faktor yang tersedia di lingkungan dan yang terkait dengan bisnis. Dengan kata lain, bisnis pada dasarnya adalah upaya untuk mengelola sumber-sumber ekonomi yang disediakan oleh lingkungannya. Oleh karena itu, interaksi antara bisnis dan lingkungannya atau sebaliknya menjadi suatu kajian yang menarik.[16] Di dalamnya tentunya tidak dapat dipisahkan dengan etika yang melandasinya. Seperti halnya pada kegiatan pemasaran dan produksi.
B.     Etika Dalam Kegiatan Produksi
Dalam pelajaran ekonomi terdapat apa yang disebut oleh sebagian ahli ekonomi dengan “Materi Sistem Ekonomi”. Materi setiap sistem ekonomi adalah cara-cara yang bersifat teknis dan alat yang dipergunakan dalam melakukan produksi, transportasi, pertukaran, dan lain-lain. Kadangkala cara dan alat yang di pergunakan oleh sebagian sistem tradisional sangat primitif dan sederhana. Tujuan utamanya adalah tetap memelihara keasliannya. Dalam sistem ini segala perubahan yang datang perlu dikhawatirkan karena sesungguhya perubahan itu dalam pandangannya adalah wajib dijauhi dan dihindari.
Ketika datang era kebangkitan di Eropa, terbukalah penemuan-penemuan ilmu modern. Bersamaan dengan bangkitnya petualangan individu yang rakus dan tuntutan hasil industri maka digunakan alat-alat raksasa. Satu alat sama dengan berbanding ratusan bahkan ribuan tenaga manusia. Alat jahit misalnya, dalam satu menit menghasilkan tujuh ratus tusukan jarum,sementara tangan hanya menghasil-kan dua puluh tiga. Alat tenun modern dalam satu hari menghasilkan sama dengan yang dilakukan oleh dua ribu tukang tenun. Satu pekerja bisa mengawasi dua puluh mesin tenun. Satu alat percetakan dapat menghasilkan apa yang dihasilkan oleh jutaan tukang cetak.[17] Sebagai konsekuensi dari alat-alat ini adalah berdirinya pabrik-pabrik besar dengan mempergunakan para pekerja untuk mengelola dan melaksanakannya.
Dengan demikian, semua sistem modern sekarang ini mengandalkan penggunaan sarana dan alat-alat modern. Bersaing dalam menjaga mutu, meningkatkan produksi dan menekan biaya. Melakukan persaingan secara besar-besaran yang didukung oleh para ilmuwan dan tenaga ahlinya. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara sistem individualis dan sistem sosialis.
Unsur pokok pada sistem ekonomi ini tidak pernah dicampuri urusannya oleh Islam, tetapi semuanya diserahkan kepada manusia untuk mengaturnya sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka. Sesuai pula dengan keadaan zaman dan lingkungannya, karena hal ini terdapat hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang berbunyi, “kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”.
Seperti halnya definisi menurut Yusuf Qhardawi, di dalam produksi akan melibatkan berbagai jenis sumber daya, sebagai masukkan dalam proses produksi, di antaranya adalah, material, modal, informasi, energi, maupun tenaga kerja.
Fungsi produksi dilakukan oleh perusahaan untuk menciptakan atau pengadaan atas barang atau jasa. Transformasi yang dilakukan dalam kegiatan produksi adalah untuk membentuk nilai tambah. Menurut Muchlis, secara filosofis, aktivitas produksi meliputi:[18]
a.       Produk apa yang dibuat
b.      Berapa kuantitas produk yang dibuat
c.       Mengapa produk tersebut dibuat
d.      Di mana produk tersebut dibuat
e.       Kapan produk dibuat
f.       Siapa yang membuat
g.      Bagaimana memproduksinya.
Lebih lanjut dikatakan oleh Muchlis, bahwa etika bisnis yang terkait dengan fungsi produksi adalah keterkaitan dengan upaya memberikan solusi atas tujuh permasalahan di atas. Solusi dari produksi adalah berorientasi pada pencapaian harmoni atau keseimbangan bagi semua atau beberapa pihak yang berkepentingan dengan masalah produksi.
Akhlak utama dalam produksi yang wajib diperhatikan kaum muslimin, baik secara individual maupun secara bersama, ialah bekerja pada bidang yang dihalalkan Allah. Tidak melampaui apa yang diharamkan-Nya. Menurut Yusuf Qhardawi, tujuan produksi yaitu (1) untuk memenuhi kebutuhan setiap individu, dan (2) mewujudkan kemandirian umat.[19]
Terkait dengan tujuan yang pertama, ekonomi (bisnis) islam sangat mendorong produktivitas dan mengembangkannya baik kuantitas maupun kualitas. Islam melarang menyia-nyiakan potensi material maupun potensi sumber daya manusia. Bahkan Islam mengerahkan semua itu untuk kepentingan produksi. Di dalam bisnis Islam kegiatan produksi menjadi sesuatu yang unik dan istimewa, sebab di dalamnya terdapat faktor itqan (profesionalitas) yang dicintai Allah dan ihsan yang diwajibkan Allah atas segala sesuatu.
Tujuan lain dalam produksi adalah merealisasikan kemandirian ekonomi umat. Maknanya, hendaknya uamt memiliki berbagai kemampuan, keahlian dan prasarana yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan material dan spiritual. Juga terpenuhinya kebutuhan pengembangan peradaban, melalui jalan yang oleh para ahli fiqih disebut fardu kifayah.
C.    Etika Dalam Kegiatan Pemasaran
Bisnis tidak dapat dipisahkan dari aktivitas pemasaran. Sebab pemasaran merupakan aktivitas perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan atas program-program yang dirancang untuk menghasilkan transaksi pada target pasar, guna memenuhi kebutuhan perorangan atau kelompok berdasarkan asas saling me-nguntungkan, melalui pemanfaatan produk, harga, promosi, dan distribusi.[20]
Definisi di atas mengarahkan kita bahwa orientasi pemasaran adalah pasar. Sebab pasar merupakan mitra sasaran dan sumber penghasilan yang dapat meng-hidupi dan mendukung pertumbuhan perusahaan. Oleh karena itu, apapun yang dilakukan oleh aktivitas pemasaran adalah berorientasi pada kepuasan pasar. Kepuasan pasar adalah kondisi saling ridho dan rahmat antara pembeli dan penjual atas transaksi yang dilakukan. Dengan adanya keridhoan ini, maka membuat pasar tetap loyal terhadap produk perusahaan dalam jangka waktu yang panjang.
Aktivitas pemasaran harus didasari pada etika dalam bauran pemasaran-nya. Sehubungan dengan ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:[21]
1.      Etika pemasaran dalam konteks produk
a.       Produk yang halal dan thoyyib
b.      Produk yang berguna dan dibutuhkan
c.       Produk yang berpotensi ekonomi atau benefit
d.      Produk yang bernilai tambah yang tinggi
e.       Dalam jumlah yang berskala ekonomi dan sosial
f.       Produk yang dapat memuaskan masyarakat.
2.      Etika pemasaran dalam konteks harga
a.       Beban biaya produksi yang wajar
b.      Sebagai alat kompetisi yang sehat
c.       Diukur dengan kemampuan daya beli masyarakat
d.      Margin perusahaan yang layak
e.       Sebagai alat daya tarik bagi konsumen
3.      Etika pemasaran dalam konteks distribusi
a.       Kecepatan dan ketepatan waktu
b.      Keamanan dan keutuhan barang
c.       Sarana kompetisi memberikan pelayanan kepada masyarakat
d.      Konsumen mendapat pelayanan cepat dan tepat
4.      Etika pemasaran dalam konteks promosi
a.       Sarana memperkenalkan barang
b.      Informasi kegunaan dan kualifikasi barang
c.       Sarana daya tarik barang terhadap konsumen
d.      Informasi fakta yang ditopang kejujuran.
Dalam kerangka Islam, etika dalam pemasaran tentunya perlu didasari pada nilai-nilai yang dikandung Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Beberapa ayat dan hadits Nabi yang dapat dijadikan pijakan etika dalam pemasaran di antaranya:
1.      Perhatikan olehmu sekalian perdagangan, sesungguhnya di dunia perdagangan itu ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki.[22]
2.      Hai orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha Penyayang kepadamu.[23]
3.      Barang siapa yang memelihara silahturrahmi, maka Allah akan meng-anugerahkan rizki yang melimpah dan umur panjang.[24]
Di samping itu, teladan Rasulullah dalam berdagang kiranya dapat dijadikan acuan dalam memasarkan produk perdagangannya. Beberapa kiat dan etika Rasulullah dalam membangung citra dagangnya adalah sebagai berikut:[25]
1.      Penampilan
Penampilan dagang Rasulullah adalah : tidak membohongi pelanggan, baik menyangkut besaran (kuantitas) maupun kualitas.
2.      Pelayanan
Pelanggan yang tidak sanggup membayar kontan hendaknya diberi tempo untuk melunasinya. Selanjutnya, pengampunan (bila memungkinkan) hendak-nya diberikan jika ia benar-benar tidak sanggup membayarnya.
3.      Persuasi
Menjauhi sumpah yang berlebihan dalam menjual suatu barang.
4.      Pemuasan
Hanya dengan kesepakatan bersama, dengan suatu usulan dan penerimaan, penjualan akan sempurna.


D.    Hubungan Dan Keadilan Produsen dan Konsumen
Produsen adalah pelaku bisnis yang mengkhususkan diri dalam proses membuat produk. Produksi atau manufacturing adalah proses yang dilakukan oleh produsen yang merupakan aktivitas fungsional yang mesti dilakukan oleh setiap perusahaan. Fungsi ini bekerja menciptakan barang atau jasa yang bertujuan untuk membentuk nilai tambah (value added). Secara filosofis aktivitas produksi meliputi beberapa hal sebagai berikut: produk apa yang dibuat, mengapa dibuat, kapan dibuat, untuk apa dibuat, bagaimana memproduksi, berapa kuantitas yang dibuat. Etika bisnis berkaitan dengan hal-hal ini, meberikan solusi atas permasalahan yang timbul agar dapat menciptakan harmoni bagi semua pihak yang berkepentingan.[26]
Suatu komoditas jika akan diproduksi haruslah mempertimbangkan alasan sosial kemanusiaan, yaitu selain alasan dibutuhkan oleh masyarakat juga faktor positif atau manfaat positif apa, yang akan didapat sebagai akibat diproduksinya suatu komoditas. Selain itu produsen juga mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan produk yang aman bagi konsumen.[27]
Disinilah letak pentingnya nilai keseimbangan antara produsen dan konsumen berada. Bahwa produsen dalam mendayagunakan dan mengembangkan harta bendanya melalui komoditas produk-produknya harus dilakukan dalam ke-baikan atau jalan yang tidak menyebabkan kebinasaan diri sendiri dan orang lain.
E.     Bisnis Dan Perlindungan Konsumen
Berikut ini pemakalah mereview beberapa hukum ekonomi Islam yang berhubungan dengan perlindungan konsumen dari hasil kajian pak Muhammad dalam bukunya “Etika Bisnis Islami”. Berbagai kemungkinan terhadap penyalahgunaan kelemahan yang dimiliki oleh konsumen dapat terjadi (1) ketika sebelum transaksi jual beli berlangsung (pratransaksi) berupa iklan atau promosi yang tidak benar, (2) ketika transaksi itu sendiri sedang berlangsung dengan cara tipu muslihat, dan (3) ketika transaksi telah berlangsung dimana pelaku usaha tidak tahu menahu dengan kerugian yang ditanggung konsumen (purnatransaksi). Oleh karena itu, bahasan ini akan penulis mulai dari proses pratransaksi:
1.      Perlindungan dari Pemalsuan dan Informasi Tidak Benar
Sebelum membeli, seorang konsumen tentu akan mencari informasi tentang berbagai aspek dari suatu barang atau produk. Kelengkapan suatu informasi, daya tarik dan kelebihan suatu barang atau produk menjadi faktor yang sangat menentukan bagi konsumen untuk menentukan pilihannya. Oleh karena itu, informasi merupakan hal pokok yang dibutuhkan oleh setiap konsumen. Untuk zaman sekarang media yang digunakan oleh pelaku usaha tidak hanya berupa promosi lisan atau tulisan-tulisan saja, namun sudah menyebar pada seluruh media komunikasi dan telekomunikasi yang tersedia, seperti surat kabar, televise, faks, telepon, dan internet. Perkembangan pemakaian alat-alat promosi canggih, sungguh meletakkan konsumen pada kondisi rawan, bahkan zaman sekarang konsumen dihadapkan pada apa yang dikenal dengan consumer ignorance, yaitu ketidakmampuan konsumen menyeleksi informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan, sehingga hal ini dapat saja disalahgunakan oleh para pelaku usaha. Oleh karena itum konsumen harus diberi rasa aman dalam mendapatkan suatu informasi yang jujur dan bertanggung jawab.
2.      Perlindungan terhadapa Hak Pilih dan Nilai Tukar Tidak Wajar
Seorang konsumen dapat dikatakan tidak mempunyai hak pilih oleh dua sebab:
a.       Apabila dalam memenuhi kebutuhannya, ia terpaksa oleh suatu ancaman tertentu, seperti akan menyakiti secara jasmani, psikologi, atau mengancam utnuk tidak memenuhi haknya dalam masalah sosial ekonomi lainnya.
b.      Apabila konsumen tidak mempunyai pilihan karena kondisi yang dipaksakan oleh mekanisme pasar yang monopolistik.
Untuk mengatasi berlakunya harga yang tidak normal di pasar, fikih Islam sudah menawarkan banyak solusi, si antaranya:
a.       Pelarangan Praktek Ribawi
Dalam pelarangan praktek riba terdapat suatu perlindungan bagi konsumen karena harta yang dipinjam tersebut adalah barang yang dikonsumsi oleh para pemakainya, sedangkan dengan membebani para konsumen dari harta pinjaman tersebut, maka beban dari pihak yang meminjam uang tersebut akan bertambah besar. Lebih dari itu, praktek riba akan langsung berpengaruh pada harga barang-barang yang diproduksi oleh orang atau perusahaan debitur karena riba yang harus ia bayar pada kreditur akan menambah beban biaya produksi. Hal ini seperti langsung mempengaruhi dan membebani konsumen.
b.      Pelarangan Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
Fenomena praktek monopoli lebih menonjol pada sistem ekonomi bebas, namun praktek dagang monopoli tidaklah akan menghidup-kan kebebasan dagang, tapi justru akan membunuh mekanisme kebebasan pasar. Keluarnya UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat tidak saja melegakan para pengusaha lemah, bahkan manfaatnya secara langsung dapat dirasakan oleh masyarakat konsumen. Perilaku monopoli termasuk perbuatan sewenang-wenang dalam mengguna-kan hak (al-ta’ssuf fi al-isti’mal al-haq) karena untuk mewujudkan keuntungan pribadi, seorang pelaku monopoli telah menimbulkan bahaya pada hak publik.[28] Ketika Islam mengharamkan praktek monopoli, secara sepintas terlihat hal itu sebagai tindakan semena-mena terhadap hak pribadi seorang yang bebas dalam mengguna-kan hartanya.
c.       Pemberlakuan al-Tas’ir (Fixing Price)
Pada prinsipnya Islam tidak mengizinkan pemberlakuan tas’ir dalam kondisi normal karena ia akan membunuh mekanisme pasar. Oleh karena itu, Rasulullah enggan menaikkan harga barang-barang atau memaksa para pedagang dengan harga tertentu, secara jelas menunjukkan kehati-hatian Beliau sebagai pemerintah dalam hal ikut campur terhadap harta kekayaan rakyat. Akan tetapi, apabila naiknya harga suatu komoditi pasar disebabkan oleh ulah para pedagang misalnya, maka tas’ir diperbolehkan untuk menolak bahaya yang akan menimpa publik. Dengan demikian, pemberlakuan al-tas’ir hendaknya dijadikan sebagai suatu cara untuk mengatasi tindakan monopoli.
d.      Pemberlakuan Khiyar al-Ghubn al-Fahisy (Perbedaan Nilai Tukar Menyolok)
Tujuan dari perdagangan adalah mencari untung, sedangkan Islam tidak pernah memberikan batasan tertentu bagi seorang pedagang dalam memperoleh untung. Namun bagaimanapun juga, adalah tidak adil apabila seseorang membeli tidak sesuai dengan barang, atau sesuai dengan harga yang sedang berlaku. Para ahli fikih menganggap bahwa perbedaan harga yang menyolok merupakan salah satu penyebab rusaknya rasa saling rela (taradhin), maka adanya ketidaksetaraan nilai tukar yang menyolok antara dua barang yang dipertukarkan (al-Ghubn al-Fahisy) karena adanya perdayaan atau tipuan (al-Ghubn al-Fahisy ma’a al-Taghrir) akan menyebabkan pihak yang membayar nilai tukar mempunyai hak Khiyar.
e.       Pelarangan Jual Beli an-Najasy
Najasy adalah perbuatan orang lain (bersekongkol dengan pedagang atau tidak) yang sengaja menawar harga tinggi kepada pedagang, dengan tujuan agar para pembeli tertarik membelinya dengan harga yang tinggi pula, sedangkan pelaku najasy itu sendiri tidak berniat membeli barang tersebut.
f.       Pelarangan Jual Beli Talaqi Rukban dan Jual Beli al-Hadhir li Bad
Jual beli talaqi rukban adalah perbuatan pedagang suatu pasar yang sengaja menyambut dan membeli barang kafilah dagang dari luar kota sebelum sampai di pasar. Sedangkan jual beli al-hadhir li bad adalah sikap pedagang suatu pasar atau kota yang membujuk pedagang asing atau produsen agar ia menjadi perantara dagang dengan cara menjual barang tersebut secara berangsur dengan harga yang lebih mahal. Tujuan utama dari pelarangan praktek talaqi rukban dan al-hadhir li bad ini adalah tindakan preventif dari eksploitasi ketidaktahuan produsen terhadap harga pasar, dan mengurangi jumlah pedagang dan makelar dalam hubungan dagang karena semakin banyak jumlah pedagang, maka akan semakin tinggi pulalah harga suatu barang.
3.      Perlindungan terhadap Keamanan Produk dan Lingkungan Sehat
Kemajuan teknologi dan berkembangnya volume perekonomian dan per-dagangan menuntut pengawasan ekstra terhadap resiko-resiko yang mungkin timbul akibat penggunaan produk tertentu. Hal inilah benar-benar menuntut tegaknya prinsip caveat venditor (pelaku usahalah yang harus berhati-hati, bukan pembeli). Adanya consumer ignorance[29] mengakibatkan mudahnya terjadi bahaya atau efek samping yang akan menimpa konsumen. Sebagai contoh kasus, untuk obat flu masyarakat diresahkan oleh adanya kandungan senyawa phenylpropanolamine (PPA) karena dapat menyebabkan stroke dan pendarahan otak, dimana menurut Ditjen POM (Pengawasan Obat dan Makanan) terdapat 30 jenis obat yang mengandung phenylpropanolamine (PPA) lebih dari 15 mg.[30] Terdapatnya berbagai produk yang dapat membahayakan konsumen seperti minuman keras dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika perlu mendapat pengawasan dari pemerintah. Di samping itu, buruknya kondisi lingkungan yang disebabkan oleh para pelaku usaha pada umumnya, perlu juga mendapat perhatian serius karena setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya.
4.      Permasalahan dari Pemakaian Alat Ukur Tidak Tepat
Permasalahan ketepatan alat ukur adalah sebuah permasalahan lama, namun masalah ini tidak kunjung habis. Ketepatan alat ukur tradisional tentu tidak dapat disamakan dengan alat-alat ukur kontemporer. Misalnya, barangkali tidak terlalu terlalu banyak kita temukan terjadinya penipuan dalam masalah timbangan atau ukuran panjang suatu barang dibeli pembeli karena zaman sekarang hamper setiap rumah mempunyai alat ukur sejenis. Namun ketepat-an alat ukur yang kita maksud secara lebih relevan dengan zaman sekarang adalah ketepatan antara sifat dan kualifikasi barang yang diminta dengan yang diserahkan dari segala segi, mulai dari ukuran berat, isi, kandungan isi, dan semua yang tertulis pada label atau yang dijanjikan oleh penjual. Betapa banyak barang-barang yang jauh berbeda antara label dengan kandungan isi dan kriteria  yang ditemukan konsumen karena sulit bagi sembarang orang untuk mengetahuinya akibat kemajuan teknologi.
5.      Hak Mendapat Advokasi dan Penyelesaian Sengketa
Dalam Islam semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap hukum, sehingga Islam tidak mengenal hak prerogative bagi seorang presiden misalnya, dan sehingga dalam memperlakukan kedua pihak yang bersengketa, hakim juga harus adil, misalnya dalam berdiri, duduk, berbicara, menoleh, dan mendengar. Ibnu Abiy al-Dam mengatakan bahwa seorang hakim tidak boleh berdiri ketika menyambut kedatangan dua orang yang bersengketa, sebab hal itu akan membawa efek psikologis yang tidak baik terhadap pihak yang lemah karena bisa jadi si lemah akan merasa bahwa berdirinya hakim adalah untuk menghormati si mulia.[31]
F.     Iklan dan Dimensi Etisnya
Pada bagian sebelumnya telah disinggung perlindungan konsumen tentang bagaimana cara-cara perusahaan mengiklankan barang yang akan diperjualbelikan. Pada kenyataannya, banyak barang diperjualbelikan belakangan ini yang tidak sebanding dengan apa yang telah diiklankan. Fenomena pemalsuan dan penipuan karena adanya keahlian dan teknologi yang dimiliki oleh para pelaku pada hakekatnya tidak hanya terjadi pada zaman kemajuan teknologi modern dalam bentuk iklan. Ibnu Taimiyyah (661-728 H/1263-1238 M) dan Ibnu al-Qayyim (w. 751 H/1350 M) pernah memperingatkan wali hisbah untuk benar-benar memberatkan hukuman bagi mereka yang menyalahgunakan keahlian mereka untuk menipu masyarakat.
Dalam kajian fiqih Islam, kebenaran dan keakuratan informasi ketika seorang pelaku usaha mempromosikan barang dagangannya menempati kajian yang sangat signifikan. Islam tidak mengenal sebuah istilah kapitalisme klasik yang berbunyi “ceveat emptor” atau “let the buyer beware” (pembelilah yang harus berhati-hati), tidak pula “ceveat venditor” (pelaku usahalah yang harus berhati-hati), tetapi dalam Islam yang berlaku adalah prinsip keseimbangan (al-ta’dul) atau ekuilibrium dimana pembeli dan penjual harus berhati-hati dimana hal itu tercermin dalam teori perjanjian (nazhariyyat al-‘uqud) dalam Islam. Sehingga Khalifah Umar ibn al-Khathab berkata: Orang yang tidak mengerti hukum pasar, tidak dapat ambil bagian dalam aktivitas pasar kami. (Riwayat Tirmidzi dari Anas ibn Malik).[32]
Informasi yang harus diberikan pada pembeli tidak hanya berhubungan dengan kuantitas dan kualitas suatu barang, tetapi juga berkaitan dengan efek samping atau bahaya pemakaian, perlindungan terhadap kepercayaan agama tertentu, seperti informasi halal atau haramnya suatu produk. Salah satu tujuan promosi atau iklan yang tidak jujur adalah agar barang dagangan tersebut laris atau menarik pembeli untuk membelinya.
G.    Contoh Kasus
Contoh kasus seperti yang terjadi pada PT.Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) yang terjadi pada tahun 2010 yang lalu. Kasus indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Pemerintah Indonesia meminta Taiwan memberikan klarifikasi mengenai kandungan zat pengawet nipagin pada kecap yang disertakan dalam kemasan mi instan asal Indonesia, indomie. Otoritas berwenang di Taiwan mesti menjelaskan bahwa produk dari Indonesia aman dikonsumsi. Menteri perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, klarifikasi atas informasi tersebut sangat penting karena informasi yang salah tentang satu produk akan mempengaruhi perdagangan produk ekspor Indonesia yang lain. “Kita minta badan pengawas obat dan makanan di sana (Taiwan) memberikan klarifikasi bahwa produk kita sudah memenuhi standar internasional, tidak berbahaya,” ujar Mari di Jakarta (13/10/2010).[33] Mari menyatakan, kandungan nipagin pada kecap manis dalam varian tertentu produk indomie sudah sesuai peraturan menteri kesehatan tentang persyaratan standar kandungan pengawet makanan.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kustantinah menuturkan, berdasarkan aturan dalam negeri, batas maksimal penggunaan nipagin pada kecap manis 250 miligram per kilogram. Aturan tersebut mengacu pada standar keamanan makanan global Codex Alimentarius Comission. Batas maksimal penggunaan nipagin dalam kecap manis pada Codex Alimentarius Comission malah lebih besar yakni 1.000 miligram per kilogram. Kustantinah mengakui, Taiwan memang memiliki standar yang berbeda dalam penggunaan nipagin pada kecap.
Indomie yang dianggap Taiwan ‘berbahaya’ ternyata sebenarnya untuk spesifikasi pasar Indonesia. Tak heran, ketika sampai di Taiwan, produk itu langsung tak memenuhi standar negara tersebut. Hal itu terungkap berdasarkan hasil klarifikasi Kantor Dagang Indonesia (KDI) di Taiwan kepada pihak produsen mie instan yakni Indofood untuk memberikan keterangan mengenai informasi tersebut. Klarifikasi itu diajukan setelah KDI di Taiwan mendapat surat pemberitahuan dari Departemen Kesehatan setempat terkait kasus temuan produk mie instan indomie ‘berbahaya’.
“Yang ditemukan di Departemen Kesehatan Taiwan adalah produk indomie yang harusnya beredar di Indonesia”, kata Kepala Bidang Perdagangan Kantor Dagang dan Ekonomi Taiwan Bambang Mulyanto di gedung DPR-RI, senayan, Jakarta, Senin (11/2010).[34]
Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan, pemerintah tidak segan-segan untuk melayangkan nota protes kepada Taiwan bila penarikan indomie didasari motif persaingan dagang. Pemerintah berupaya memberikan perlindungan kepada seluruh industri nasional. “Jika memang diketahui ada yang tidak adil, baik dari sisi pemberitaan ataupun pengenaan sanksi, pemerintah akan memberikan perlindungan”, ucapnya.
Hatta juga mempertanyakan penarikan indomie yang baru dilakukan saat itu. Padahal, indomie sudah masuk ke Taiwan sejak 20 tahun lalu. Pemerintah berharap penanganan kasus indomie dilakukan secara adil. “Jangan sampai orang memerangi, kita diam saja. Kan begitu kalau perang dagang”, lanjut Hatta.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision[35], produk indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan keamanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota CAC. Produk indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia, dan karena standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus indomie yang sampai dikaitkan perang dagang dengan pemain luar atau dalam negeri.
Sebagaimana kasus yang terjadi seperti contoh yang di atas, di sinilah Etika Bisnis Islam menjadi relevan untuk ditumbuhkembangkan sebagai sebuah alternatif solusi keluar dari kungkungan korup dan improfesionalisme tersebut. Bukan saja karena faktor studi di dunia Barat yang membuktikan terpromosikan-nya sebuah perusahaan dan naiknya rating dengan kode etik kerja, melainkan itu bagian dari perwujudan dan profesionalitas yang menjadi keniscayaan ber-Islam-nya seorang muslim dan realisasi adagium yang mengatakan: “a good business is a good ethic”.




BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sebagai hasil akhir dari isi pembahasan materi Etika dalam Kegiatan Produksi dan Pemasaran. Seperti pendapat pemakalah sebelumnya mengenai definisi etika, bisnis islam, produksi dan pemasaran. Pemakalah menarik garis besar tentang definisi Etika Bisnis Islam dalam Kegiatan Produksi dan Pemasaran, yaitu studi ilmu tentang kebiasaan seseorang dalam menjalankan konsep muamalah pada kegiatan menciptakan (produksi) dan menukarkan (pemasaran) hasil ciptaannya untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Dalam konsep islam, Etika Bisnis Islam memandang kegiatan produksi dan pemasaran masuk kedalam kegiatan muamalah yang berlandaskan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang yang memberikan contoh sekaligus menerapkan konsep etika bisnis yang islami terhadap perniagaan. Salah satu contoh etika yang diterapkan oleh Rasulullah adalah konsep kepercayaan, karena kepercayaan merupakan faktor fundamental dalam mengembangkan loyalitas konsumen. Ia memulai bisnisnya dengan modal trust saja, tanpa bermodalkan harta benda. Etika transendental banyak ditemukan dalam ajaran Islam dan tak terkecuali beberapa bahasan tentang kepercayaan, karena risalah Islam disebarkan di atas nama besar al-amin yang melekat dalam diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Bisnis yang sehat adalah bisnis yang berlandaskan pada etika. Oleh karena itu, pelaku bisnis muslim hendaknya memiliki kerangka etika bisnis yang kuat, sehingga dapat mengantarkan aktivitas bisnis yang nyaman dan berkah. Bisnis islami dikendalikan oleh aturan syari’ah, seperti berupa halal dan haram, baik dari cara memperolehnya maupun pemanfaatannya. Sementara bisnis non-islami di-landaskan pada sekularisme yang bersendikan pada nilai-nilai material.
Bisnis islami merupakan bisnis yang hanya akan hidup secara ideal dalam sistem dan lingkungan yang islami pula. Dalam lingkungan yang tidak islami, maka pelaku bisnis akan mudah sekali terseret dan sukar berkelit dalam kegiatan yang dilarang agama. Mulai dari uang pelicin saat perizinan usaha, menyimpan uang dalam rekening koran yang berbunga, hingga iklan yang tidak senonoh, dan aktivitas semacamnya. Dengan demikian, tumbuh tidaknya jenis kegiatan bisnis akan sangat bergantung pada macam sistem dan lingkungan yang ada.
B.     Saran
Jika kita melihat kondisi di negara kita saat ini memang masih sering terjadi penyimpangan etika dalam berbisnis, apalagi berbisnis secara syar’i yang pada kenyataannya bukan berbisnis secara syar’i, melainkan berbisnis dengan berentitaskan nama “syari’ah”. Saran dari pemakalah sebenarnya lebih kepada penegasan terhadap generasi ekonom rabbani dalam menegakkan panji-panji ekonomi syari’ah yang berlandaskan al-Qur’an dan As sunnah, sebagaimana yang dicontohkan oleh Baginda Rasulullah saw. Dan para sahabatnya, supaya tidak terjadi seperti contoh-contoh kasus yang pemakalah paparkan dalam materi ini.
DAFTAR PUSTAKA
ü  Muhammad, Etika Bisnis Islami, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2013.
ü  Rafik Issa Beekun, Etika Bisnis Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
ü  Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam islam, Penj. Samson Rahman, Jakarta: Pustaka al-kautsar, 2001
ü Hussain Shahata, Business Ethics in Islam, Al-Falah Foundation 1999
ü  Yusuf Qhardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Jakarta: Rabbani Press, 1995.
ü  Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dalam Konteks, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992.
ü  Faisal Badroen, Suhendra, M. arief Mufraeni, Ahmad D. Bashori, Etika Bisnis dalam Islam, Jakarta: KPMG, 2012.
ü  Dawam Rahardji, Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam PJP II, Prisma, 1995.
ü  Ika Yunia Fauzia, Etika Bisnis dalam Islam,  Jakarta: KPMG, 2013.
ü  Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI),  edisi januari 2001.


[1] Rafik Issa Beekun, Islamic Business Ethics, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 1.
[2] Hussain Shahata, Business Ethics in Islam, (Al-Falah Foundation 1999), hlm. 2.
[3] Faisal Badroen, dkk, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: KPMG, 2012), hlm. 4.
[4] Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hal. 1.
[5] Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2013), hal. 7.
[6] Muhammad, Etika Bisnis Islami, hal. 14.
[7] Muhammad, Etika Bisnis Islami, hal. 158.
[8] Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dalam Konteks, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm 156-162.
[9] Rafik Issa Beekun, Islamic Business Ethics, hlm. 3.
[10] Muhammad, Etika Bisnis Islami, hlm. 15.
[11] Dawam Rahardji, Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam PJP II, (Prisma, 1995), hlm. 2.
[12] Ika Yunia Fauzia, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: KPMG, 2013), hlm. 3.
[13] Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2001), hlm. 138.
[14] Ika Yunia Fauzia, Etika Bisnis dalam Islam, hlm. 4.
[15] Ika Yunia Fauzia, Etika Bisnis dalam Islam, hlm. 5.
[16] Muhammad, Etika Bisnis Islami, hlm. 95.
[17] Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam, hlm. 135.
[18] Muhammad, Etika Bisnis Islami, hlm. 103.
[19] Dalam pemenuhan kebutuhan setiap individu, ada 8 unsur yang harus terpenuhi , yaitu: (1) Jumlah makanan yang cukup, (2) Jumlah air yang cukup, (3) Pakaian yang menutuoi aurat, (4) Tempat tinggal yang sehat, (5) Sejumlah harta yang bisa ditabung untuk melakukan pernikahan dan membentuk keluarga muslim, (6) Sejumlah harta yang dapat membantunya menuntut ilmu, (7) Sejumlah harta untuk berobat jika sakit, (8) Kelebihan harta yang ditabung untuk keperluan ibadah haji ke Baitullah. Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam, hlm. 180-190.
[20] Muhammad, Etika Bisnis Islami, hlm. 99.
[21] Muhammad, Etika Bisnis Islami, hlm. 100-101.
[22] HR. Ahmad
[23] Surah An Nisaa’ : 29
[24] Al-Hadis
[25] Muhammad, Etika Bisnis Islami, hlm. 102.
[26] Muhammad, Etika Bisnis Islami, hlm. 159.
[27] Apakah produsen bertanggung jawab bila produknya mengakibatkan kerugian pada konsumen. Jika terjadi kerugian pada konsumen, maka produsen harus berani untuk menggantinya dengan produk yang baru. Baca, K Bertens, hlm. 232.
[28] Muhammad, Etika Bisnis Islami, hlm. 176.
[29] Consumer ignorance, yaitu ketidakmampuan konsumen menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan, sehingga hal ini dapat saja disalahgunakan oleh para pelaku usaha.
[30] Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), edisi januari 2001, hlm. 28
[31] Muhammad, Etika Bisnis Islami, hlm. 185.
[32] Muhammad, Etika Bisnis Islami, hlm. 203-204.
[33] Seperti diberitakan, Taiwan menarik peredaran indomie dari sejumlah supermarket lantaran dianggap mengandung zat pengawet nipagin (methyl parahydroxi benzoate). Zat yang biasa digunakan untuk produk kosmetik ini terdapat pada kecap yang disertakan dalam kemasan mi instan. (baca http://economy.okezone.com/read/2010/10/13/320/381919/ri-minta-klarifikasi-kasus-indomie). Diakses tanggal 24 Maret 2014, pukul 20.15 WITA
[34] Sebelumnya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memastikan produk buatan Indonesia itu aman dikonsumsi. Kustantinah menjelaskan BPOM mempunyai aturan yang mengatur bahan tambahan makanan yang diperbolehkan ada di dalam pangan dengan batas maksimum penggunaannya. (baca http://www.menkokesra.go.id/content/kasus-indomie-mestinya-untuk-indonesia). Diakses tanggal 24 Maret 2014, Pukul 20.40 WITA
[35] Forum CAC (Codex Alimentarius Commision) merupakan organisasi perumus standar internasional untuk bidang pangan.

2 komentar untuk "Etika dalam kegiatan produksi dan pemasaran"

  1. Lengkap sekali mas,. pingin terus belajar meniru cara Rosulullah berdagang,..
    buat rekan mahasiswa silahkan download lengkap Makalah Etika dalam Kegiatan Produksi dan Pemasaran

    BalasHapus