Etika dalam kegiatan produksi dan pemasaran
Oleh: Tri Ramadhan Aji Saputra *
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di tengah kemajuan
zaman modern yang kapitalis sekarang ini, ada kecenderungan masyarakat dunia
untuk semakin akrab dengan tata nilai kehidupan. Dalam sebuah survei tahun 1991
yang dilakukan di Amerika terhadap sekitar 2.000 perusahaan mengungkapkan
banyak persoalan yang menjadi konsen komunitas manajer, seperti penyalahgunaan
minuman keras dan alkohol, karyawan yang mencuri, conflict of interest, isu pengawasan kualitas, diskriminasi dalam
promosi dan pengangkatan karyawan, penyalahgunaan aset perusahaan dan lain
sebagainya, dianggap sebagai persoalan yang dihadapi.[1]
Semua ini adalah
persoalan perilaku yang mentradisi dan dianggap biasa selama ini, tetapi mulai
dipersepsi sebagai sesuatu yang problematik bagi kemajuan perusahaan bahkan
dianggap sebagai anomali yang harus dicarikan solusi. Untuk itu ada hajat besar
dari perusahaan-perusahaan tersebut untuk meletakkan software yang dapat menjadi tata nilai yang bisa dipegang oleh stakeholders dan membawa manfaat bagi
semua. Maka, perangkat lunak yang menjadi pijakan para stakeholders itulah yang disebut sebagi etika atau kode etik dalam
berbisnis.
Perhatian khusus dunia
usaha Barat terhadap konsep kode etik dalam bisnis di atas menurut Dr. Husain
Shahata didasari oleh beberapa alasan berikut:[2] Pertama, tumbuh suburnya immoralitas
yang terjadi di antara para eksekutif perusahaan dan para pegawainya sehingga
membuat perusahaan harus merugi dan gagal. Kedua,
studi lapangan yang dilakukan membuktikan bahwa perusahaan yang menerapkan
kode etik yang superior punya nama dan reputasi yang baik sehingga mendapatkan
keuntungan.
Islam sebagai agama
dengan sistem komprehensif juga mengatur aspek-aspek di atas dengan basis
moralitas. Islam mengombinasikan nilai-nilai spiritual dan material dalam
kesatuan yang seimbang dengan tujuan menjadikan manusia hidup bahagia di dunia
dan di akhirat. Tetapi persoalan kemudian bahwa konsep materialistis yang
berkembang di alam modern sekarang ini telah menyeret manusia pada kondisi di
mana nilai-nilai spiritual terpinggirkan. Hal ini terjadi terutama di kalangan
kaum pebisnis yang pada gilirannya berimbas negatif terhadap lapisan lain.
Artinya, paradigma yang terbangun di masyarakat bahwa harta, jabatan, dan
kekuasaan menjadi tolak ukur ‘baik’ dan ‘tidak’-nya seseorang.
Bila hal demikian
tumbuh dan berkembang ia dapat berefek negatif bagi nilai-nilai yang selama ini
eksis, dan semua orang akan berpacu meraih keuntungan material sebanyak mungkin
walau on the expenses of others.
Realitas terkikisnya nilai-nilai luhur dan berkembangnya keinginan untuk
dinilai ‘baik’ secara sosial dapat memupuk jiwa korup dan permisif terhadap
ketidak-profesionalan kerja baik di birokrasi, eksekutif karyawan, atau buruh. Meritokrasi
bukan sebagai ukuran dalam profesionalisme, namun materi sebagai
barometernya.[3]
Di dalam persaingan
dunia usaha yang sangat kompetitif ini, etika bisnis merupakan sebuah harga
yang tidak dapat ditawar lagi. Memperlakukan karyawan, konsumen, pemasok,
pemodal, dan masyarakat umum secara etis, adil dan jujur adalah satu-satunya
cara supaya kita dapat bertahan di dalam dunia bisnis seperti saat ini.
Perilaku etis sangat diperlukan untuk sukses dalam sebuah bisnis. Bisnis
apapun, tentu akan melalui tahap-tahap sebelum akhirnya bisa dinikmati publik.
Perilaku bisnis berdasarkan etika perlu diterapkan meskipun tidak menjamin
berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, akan tetapi setidaknya akan menjadi
rambu-rambu pengaman apabila terjadi pelanggaran etika yang menyebabkan
timbulnya kerugian bagi pihak lain. Masalah pelanggaran etika yang sering
muncul antara lain, dalam hal mendapatkan ide usaha, memperoleh modal,
melaksanakan proses produksi, pemasaran produk, pembayaran pajak, pembagian
keuntungan, penetapan mutu, penentuan harga, pembajakan tenaga profesional,
penguasaan pangsa pasar dalam satu tangan, persengkokolan, penekanan upah buruh
dibawah standar, produksi dan pemasaran dan sebagainya. Ketidaketisan perilaku
berbisnis dapat dilihat hasilnya, apabila merusak atau merugikan pihak lain.
Perilaku tidak etis
dalam kegiatan bisnis sering juga terjadi karena peluang-peluang yang diberikan
oleh peraturan perundang-undangan yang kemudian disahkan dan disalah gunakan
dalam penerapannya dan kemudian dipakai sebagai dasar untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang melanggar etika bisnis.
Urgensi bisnis tidak
bisa dipandang sebelah mata. Bisnis selalu memegang peranan vital di dalam
kehidupan sosial dan ekonomi manusia sepanjang masa, dan ini juga masih berlaku
di era kehidupan seperti saat ini. Karena kekuatan ekonomi mempunyai kesamaan
makna dengan kekuatan politik, sehingga urgensi bisnis mempengaruhi semua
tingkat individu, sosial, regional, nasional, dan internasional. Tidak
mengherankan apabila banyak masyarakat muslim terlibat dalam berbagai kegiatan
bisnis atau yang lainnya.[4]
Terlibatnya masyarakat
muslim di dalam dunia bisnis bukanlah hal yang baru. Pada dasarnya karena islam
menganjurkan umatnya untuk bermuamalah, seperti yang dicontohkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Ketika Islam diyakini sebagai suatu agama sekaligus suatu sistem, maka
pertanyaan yang timbul adalah dapatkah
Islam memberikan tuntunan beretika dalam bisnis ? Dengan adanya tuntunan
tersebut diharapkan mampu memberikan nuansa bisnis yang Islami.
Sistem etika Islam
berbeda dari sistem etika sekuler dan dari ajaran moral yang diyakini oleh
agama-agama lain. Islam memiliki pedoman dalam mengarah-kan umatnya untuk
melaksanakan amalan. Pedoman tersebut adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sebagai
sumber ajaran Islam, setidaknya dapat menawarkan nilai-nilai dasar atau
prinsip-prinsip umum yang penerapannya dalam bisnis disesuai-kan dengan
perkembangan zaman dan mempertimbangkan dimensi ruang dalam waktu.[5]
Islam seringkali
dijadikan sebagai contoh tatanan kehidupan. Keadaan seperti ini digunakan untuk
pengembangan lanjutan terhadap tatanan kehidupan tersebut, termasuk juga dalam tatanan
kehidupan berbisnis.
Bisnis merupakan
kegiatan muamalah yang pertama kali menanggalkan etika, kemudian disusul oleh
bidang politik, dan terakhir adalah persoalan seks. Bisnis yang sehat adalah
bisnis yang berlandaskan pada etika. Oleh sebab itu, pelaku bisnis muslim
hendaknya mempunyai kerangka etika bisnis yang kuat, sehingga dapat
mengantarkan aktivitas bisnis yang nyaman dan berkah.[6]
Bisnis tidak terpisah
dari etika dikarenakan pertama,
bisnis tidak bebas dari nilai. Kedua,
bisnis merupakan bagian dari sistem sosial. Ketiga,
aplikasi bisnis identik dengan pengelolaan bisnis secara profesional.
Perkembangan bisnis atau perusahaan, baik sebagai akibat maupun sebagai salah
satu sebab per-kembangan politik, ekonomi sosial maupun teknologi serta aspek
lingkungan sekitarnya, jika selama ia berinteraksi dan menghasilkan barang dan
jasa bagi masyarakat yang membutuhkannya, maka bisnis atau perusahaan itu harus
menyadari akan tanggungjawab terhadap lingkungannya, khususnya tanggung jawab
sosial dengan segala aspeknya. Agar suatu perusahaan atau bisnis dapat mencapai
tujuannya secara kontinu dengan dukungan masyarakat luas, maka manajemen
perusahaan harus menjaga efektivitas interaksi yang berlangsung antara
perusahaan dan konsumen dan stakeholder-nya
dengan cara-cara yang berdasarkan niali-nilai dan norma-norma etika bisnis.[7]
Pada hakikatnya etika
merupakan bagian integral dalam bisnis yang dijalankan secara profesional.
Dalam jangka panjang, suatu bisnis akan tetap berkesinambungan dan secara
terus-menerus benar-benar menghasilkan keuntung-an, jika dilakukan atas dasar
kepercayaan dan kejujuran. Demikian pula suatu bisnis dalam perusahaan akan
berlangsung bila bisnis itu dilakukan dengan memberi perhatian kepada semua
pihak dalam perusahaan (stake
holders-approach). Inilah sebagian dari tujuan etika bisnis yaitu, agar
semua orang yang terlibat dalam bisnis mempunyai kesadaran tentang adanya
dimensi etis dalam bisnis itu sendiri dan agar belajar bagaimana mengadakan
pertimbangan yang baik secara etis maupun ekonomis.[8]
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
A. Teori-teori Para Ahli
Dari hasil wacana di
atas menunjukkan berbagai macam konsep pemikiran dari para ahli tentang Etika
Bisnis Islam yang pada intinya mengarah pada suatu kode etik kegiatan yang
terjadi dimasyarakat pada umumnya. Seperti halnya kegiatan produksi dan
pemasaran. Berikut pendapat para ahli yang telah mengkaji mengenai etika,
bisnis dalam islam, produksi dan pemasaran dalam islam.
1. Menurut Rafiq
Issa Beekun, etika dapat didefinisikan sebagai seperangkat prinsip moral yang
membedakan yang baik dari yang buruk. Etika adalah bidang ilmu yang bersifat normatif
karena ia berperan menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan
oleh seorang individu. Etika bisnis, kadangkala merujuk kepada etika manajemen
atau etika organisasi, yang secara sederhana membatasi kerangka acuannya kepada
konsepsi sebuah organisasi.[9]
2. Menurut pak
Muhammad, bisnis berjalan sebagai proses yang telah menjadi kegiatan manusia
sebagai individu atau masyarakat untuk mencari keuntungan dan memenuhi
keinginan dan kebutuhan hidupnya. Sedangkan etika adalah ilmu yang berisi patokan-patokan
mengenai apa-apa yang benar atau salah, yang baik atau buruk, yang bermanfaat
atau tidak bermanfaat.[10]
Menurutnya juga bisnis dan etika adalah dua konsep yang berbeda bahkan tidak
memiliki keterkaitan di antaranya. Jika pun ada malah dipandang sebagai
hubungan negatif dimana, praktek bisnis merupakan kegiatan yang bertujuan
mencapai laba sebesar-besarnya dalam situasi persaingan bebas. Sebaliknya etika
bila diterapkan dalam dunia bisnis dianggap akan mengganggu upaya mencapai
tujuan bisnis.[11]
3. Menurut Ika
Yunia, bisnis adalah pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling
menguntungkan atau memberikan manfaat.[12]
4. Para ahli
ekonomi mendefinisikan produksi sebagai “menciptakan kekayaan melalui
eksploitasi manusia terhadap sumber-sumber kekayaan lingkungan”.[13]
Kekayaan alam ini meliputi kekayaan fauna dan flora, pertambangan, matahari dan
bulan.
5. Pemasaran dapat
didefinisikan sebagai hasil aktivitas bisnis yang mengarahkan arus barang dan
jasa dari produsen ke konsumen yang mencakup pembelian, penjualan,
transportasi, pergudangan, standardisasi, tingkatan, financing, dan risiko.[14]
6. Philip Kotler
memberikan definisi pemasaran sebagai sebuah proses dalam masyarakat yang
dengannya seseorang atau kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan
inginkan dengan cara menciptakan, memberi-kan atau tukar-menukar produk dan
jasa dengan orang lain.[15]
B. Pendapat Pemakalah
Dari beberapa definisi
yang dikemukakan oleh para ahli di atas tidak menjadikan konsep pemahaman yang
mutlak mengenai definisi etika, bisnis, produksi dan pemasaran dalam makalah
ini. Melainkan sebagai acuan atau referensi tambahan dalam melengkapi
pengertian etika, bisnis, produksi dan pemasaran, sehingga pemakalah dapat
menarik garis besar apa itu etika, apa itu bisnis, dan apa itu produksi dan
pemasaran yang dapat menjelaskan isi dari makalah ini.
Etika adalah studi ilmu
tentang perilaku manusia yang menentukan apa-apa yang baik atau buruk yang
bersifat normatif, rasional dan humanis. Bisnis adalah kegiatan aktivitas
manusia yang bersifat materialistik yang dimana sebagai pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Produksi adalah aktivitas untuk menciptakan atau menghasilkan sesuatu
berupa barang atau jasa. Pemasaran adalah aktivitas atau kegiatan mempertukarkan
atau memindahkan barang dan jasa dari produsen ke konsumen.
BAB
III
ANALISIS
KOMPARATIF
A. Bisnis Sebagai Suatu Sistem
Bisnis merupakan
kegiatan yang berhubungan dan berkepentingan dengan lingkungan. Lingkungan
merupakan suatu sistem. Di dalam sistem, terdapat variabel-variabel atau
faktor-faktor yang tersedia di lingkungan dan yang terkait dengan bisnis.
Dengan kata lain, bisnis pada dasarnya adalah upaya untuk mengelola
sumber-sumber ekonomi yang disediakan oleh lingkungannya. Oleh karena itu,
interaksi antara bisnis dan lingkungannya atau sebaliknya menjadi suatu kajian
yang menarik.[16]
Di dalamnya tentunya tidak dapat dipisahkan dengan etika yang melandasinya.
Seperti halnya pada kegiatan pemasaran dan produksi.
B. Etika Dalam Kegiatan Produksi
Dalam pelajaran ekonomi
terdapat apa yang disebut oleh sebagian ahli ekonomi dengan “Materi Sistem
Ekonomi”. Materi setiap sistem ekonomi adalah cara-cara yang bersifat teknis
dan alat yang dipergunakan dalam melakukan produksi, transportasi, pertukaran,
dan lain-lain. Kadangkala cara dan alat yang di pergunakan oleh sebagian sistem
tradisional sangat primitif dan sederhana. Tujuan utamanya adalah tetap
memelihara keasliannya. Dalam sistem ini segala perubahan yang datang perlu
dikhawatirkan karena sesungguhya perubahan itu dalam pandangannya adalah wajib
dijauhi dan dihindari.
Ketika datang era
kebangkitan di Eropa, terbukalah penemuan-penemuan ilmu modern. Bersamaan
dengan bangkitnya petualangan individu yang rakus dan tuntutan hasil industri
maka digunakan alat-alat raksasa. Satu alat sama dengan berbanding ratusan
bahkan ribuan tenaga manusia. Alat jahit misalnya, dalam satu menit
menghasilkan tujuh ratus tusukan jarum,sementara tangan hanya menghasil-kan dua
puluh tiga. Alat tenun modern dalam satu hari menghasilkan sama dengan yang
dilakukan oleh dua ribu tukang tenun. Satu pekerja bisa mengawasi dua puluh
mesin tenun. Satu alat percetakan dapat menghasilkan apa yang dihasilkan oleh
jutaan tukang cetak.[17]
Sebagai konsekuensi dari alat-alat ini adalah berdirinya pabrik-pabrik besar
dengan mempergunakan para pekerja untuk mengelola dan melaksanakannya.
Dengan demikian, semua
sistem modern sekarang ini mengandalkan penggunaan sarana dan alat-alat modern.
Bersaing dalam menjaga mutu, meningkatkan produksi dan menekan biaya. Melakukan
persaingan secara besar-besaran yang didukung oleh para ilmuwan dan tenaga
ahlinya. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara sistem individualis dan sistem
sosialis.
Unsur pokok pada sistem
ekonomi ini tidak pernah dicampuri urusannya oleh Islam, tetapi semuanya
diserahkan kepada manusia untuk mengaturnya sesuai dengan keinginan dan
kemampuan mereka. Sesuai pula dengan keadaan zaman dan lingkungannya, karena
hal ini terdapat hadits Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam yang berbunyi, “kalian lebih mengetahui urusan dunia
kalian”.
Seperti halnya definisi
menurut Yusuf Qhardawi, di dalam produksi akan melibatkan berbagai jenis sumber
daya, sebagai masukkan dalam proses produksi, di antaranya adalah, material,
modal, informasi, energi, maupun tenaga kerja.
Fungsi produksi
dilakukan oleh perusahaan untuk menciptakan atau pengadaan atas barang atau
jasa. Transformasi yang dilakukan dalam kegiatan produksi adalah untuk
membentuk nilai tambah. Menurut Muchlis, secara filosofis, aktivitas produksi
meliputi:[18]
a.
Produk apa yang dibuat
b.
Berapa kuantitas produk yang dibuat
c.
Mengapa produk tersebut dibuat
d.
Di mana produk tersebut dibuat
e.
Kapan produk dibuat
f.
Siapa yang membuat
g.
Bagaimana memproduksinya.
Lebih lanjut
dikatakan oleh Muchlis, bahwa etika bisnis yang terkait dengan fungsi produksi
adalah keterkaitan dengan upaya memberikan solusi atas tujuh permasalahan di
atas. Solusi dari produksi adalah berorientasi pada pencapaian harmoni atau
keseimbangan bagi semua atau beberapa pihak yang berkepentingan dengan masalah
produksi.
Akhlak utama
dalam produksi yang wajib diperhatikan kaum muslimin, baik secara individual
maupun secara bersama, ialah bekerja pada bidang yang dihalalkan Allah. Tidak
melampaui apa yang diharamkan-Nya. Menurut Yusuf Qhardawi, tujuan produksi
yaitu (1) untuk memenuhi kebutuhan setiap individu, dan (2) mewujudkan
kemandirian umat.[19]
Terkait dengan
tujuan yang pertama, ekonomi (bisnis) islam sangat mendorong produktivitas dan
mengembangkannya baik kuantitas maupun kualitas. Islam melarang menyia-nyiakan
potensi material maupun potensi sumber daya manusia. Bahkan Islam mengerahkan
semua itu untuk kepentingan produksi. Di dalam bisnis Islam kegiatan produksi
menjadi sesuatu yang unik dan istimewa, sebab di dalamnya terdapat faktor itqan (profesionalitas) yang dicintai
Allah dan ihsan yang diwajibkan Allah
atas segala sesuatu.
Tujuan lain
dalam produksi adalah merealisasikan kemandirian ekonomi umat. Maknanya,
hendaknya uamt memiliki berbagai kemampuan, keahlian dan prasarana yang
memungkinkan terpenuhinya kebutuhan material dan spiritual. Juga terpenuhinya
kebutuhan pengembangan peradaban, melalui jalan yang oleh para ahli fiqih
disebut fardu kifayah.
C. Etika Dalam Kegiatan Pemasaran
Bisnis tidak
dapat dipisahkan dari aktivitas pemasaran. Sebab pemasaran merupakan aktivitas
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan atas program-program yang dirancang
untuk menghasilkan transaksi pada target pasar, guna memenuhi kebutuhan
perorangan atau kelompok berdasarkan asas saling me-nguntungkan, melalui
pemanfaatan produk, harga, promosi, dan distribusi.[20]
Definisi di atas
mengarahkan kita bahwa orientasi pemasaran adalah pasar. Sebab pasar merupakan
mitra sasaran dan sumber penghasilan yang dapat meng-hidupi dan mendukung
pertumbuhan perusahaan. Oleh karena itu, apapun yang dilakukan oleh aktivitas
pemasaran adalah berorientasi pada kepuasan pasar. Kepuasan pasar adalah
kondisi saling ridho dan rahmat antara pembeli dan penjual atas transaksi yang
dilakukan. Dengan adanya keridhoan ini, maka membuat pasar tetap loyal terhadap
produk perusahaan dalam jangka waktu yang panjang.
Aktivitas
pemasaran harus didasari pada etika dalam bauran pemasaran-nya. Sehubungan
dengan ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:[21]
1.
Etika pemasaran dalam konteks produk
a.
Produk yang halal dan thoyyib
b.
Produk yang berguna dan dibutuhkan
c.
Produk yang berpotensi ekonomi atau benefit
d.
Produk yang bernilai tambah yang tinggi
e.
Dalam jumlah yang berskala ekonomi dan sosial
f.
Produk yang dapat memuaskan masyarakat.
2.
Etika pemasaran dalam konteks harga
a.
Beban biaya produksi yang wajar
b.
Sebagai alat kompetisi yang sehat
c.
Diukur dengan kemampuan daya beli masyarakat
d.
Margin perusahaan yang layak
e.
Sebagai alat daya tarik bagi konsumen
3.
Etika pemasaran dalam konteks distribusi
a.
Kecepatan dan ketepatan waktu
b.
Keamanan dan keutuhan barang
c.
Sarana kompetisi memberikan pelayanan kepada
masyarakat
d.
Konsumen mendapat pelayanan cepat dan tepat
4.
Etika pemasaran dalam konteks promosi
a.
Sarana memperkenalkan barang
b.
Informasi kegunaan dan kualifikasi barang
c.
Sarana daya tarik barang terhadap konsumen
d.
Informasi fakta yang ditopang kejujuran.
Dalam kerangka
Islam, etika dalam pemasaran tentunya perlu didasari pada nilai-nilai yang
dikandung Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Beberapa ayat dan hadits Nabi yang dapat
dijadikan pijakan etika dalam pemasaran di antaranya:
1.
Perhatikan olehmu sekalian perdagangan, sesungguhnya
di dunia perdagangan itu ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki.[22]
2.
Hai orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan saling suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha Penyayang kepadamu.[23]
3.
Barang siapa yang memelihara silahturrahmi, maka
Allah akan meng-anugerahkan rizki yang melimpah dan umur panjang.[24]
Di samping itu,
teladan Rasulullah dalam berdagang kiranya dapat dijadikan acuan dalam
memasarkan produk perdagangannya. Beberapa kiat dan etika Rasulullah dalam
membangung citra dagangnya adalah sebagai berikut:[25]
1.
Penampilan
Penampilan
dagang Rasulullah adalah : tidak membohongi pelanggan, baik menyangkut besaran
(kuantitas) maupun kualitas.
2.
Pelayanan
Pelanggan yang
tidak sanggup membayar kontan hendaknya diberi tempo untuk melunasinya.
Selanjutnya, pengampunan (bila memungkinkan) hendak-nya diberikan jika ia
benar-benar tidak sanggup membayarnya.
3.
Persuasi
Menjauhi sumpah
yang berlebihan dalam menjual suatu barang.
4.
Pemuasan
Hanya dengan
kesepakatan bersama, dengan suatu usulan dan penerimaan, penjualan akan
sempurna.
D. Hubungan Dan Keadilan Produsen dan Konsumen
Produsen adalah
pelaku bisnis yang mengkhususkan diri dalam proses membuat produk. Produksi
atau manufacturing adalah proses yang dilakukan oleh produsen yang merupakan
aktivitas fungsional yang mesti dilakukan oleh setiap perusahaan. Fungsi ini bekerja
menciptakan barang atau jasa yang bertujuan untuk membentuk nilai tambah (value added). Secara filosofis aktivitas
produksi meliputi beberapa hal sebagai berikut: produk apa yang dibuat, mengapa
dibuat, kapan dibuat, untuk apa dibuat, bagaimana memproduksi, berapa kuantitas
yang dibuat. Etika bisnis berkaitan dengan hal-hal ini, meberikan solusi atas
permasalahan yang timbul agar dapat menciptakan harmoni bagi semua pihak yang
berkepentingan.[26]
Suatu komoditas
jika akan diproduksi haruslah mempertimbangkan alasan sosial kemanusiaan, yaitu
selain alasan dibutuhkan oleh masyarakat juga faktor positif atau manfaat
positif apa, yang akan didapat sebagai akibat diproduksinya suatu komoditas.
Selain itu produsen juga mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan produk yang
aman bagi konsumen.[27]
Disinilah letak
pentingnya nilai keseimbangan antara produsen dan konsumen berada. Bahwa
produsen dalam mendayagunakan dan mengembangkan harta bendanya melalui
komoditas produk-produknya harus dilakukan dalam ke-baikan atau jalan yang
tidak menyebabkan kebinasaan diri sendiri dan orang lain.
E. Bisnis Dan Perlindungan Konsumen
Berikut ini
pemakalah mereview beberapa hukum ekonomi Islam yang berhubungan dengan
perlindungan konsumen dari hasil kajian pak Muhammad dalam bukunya “Etika
Bisnis Islami”. Berbagai kemungkinan terhadap penyalahgunaan kelemahan yang
dimiliki oleh konsumen dapat terjadi (1) ketika sebelum transaksi jual beli
berlangsung (pratransaksi) berupa iklan atau promosi yang tidak benar, (2)
ketika transaksi itu sendiri sedang berlangsung dengan cara tipu muslihat, dan
(3) ketika transaksi telah berlangsung dimana pelaku usaha tidak tahu menahu
dengan kerugian yang ditanggung konsumen (purnatransaksi). Oleh karena itu,
bahasan ini akan penulis mulai dari proses pratransaksi:
1.
Perlindungan dari Pemalsuan dan Informasi Tidak
Benar
Sebelum membeli,
seorang konsumen tentu akan mencari informasi tentang berbagai aspek dari suatu
barang atau produk. Kelengkapan suatu informasi, daya tarik dan kelebihan suatu
barang atau produk menjadi faktor yang sangat menentukan bagi konsumen untuk
menentukan pilihannya. Oleh karena itu, informasi merupakan hal pokok yang
dibutuhkan oleh setiap konsumen. Untuk zaman sekarang media yang digunakan oleh
pelaku usaha tidak hanya berupa promosi lisan atau tulisan-tulisan saja, namun
sudah menyebar pada seluruh media komunikasi dan telekomunikasi yang tersedia,
seperti surat kabar, televise, faks, telepon, dan internet. Perkembangan
pemakaian alat-alat promosi canggih, sungguh meletakkan konsumen pada kondisi
rawan, bahkan zaman sekarang konsumen dihadapkan pada apa yang dikenal dengan consumer ignorance, yaitu ketidakmampuan
konsumen menyeleksi informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk
yang dipasarkan, sehingga hal ini dapat saja disalahgunakan oleh para pelaku
usaha. Oleh karena itum konsumen harus diberi rasa aman dalam mendapatkan suatu
informasi yang jujur dan bertanggung jawab.
2.
Perlindungan terhadapa Hak Pilih dan Nilai Tukar
Tidak Wajar
Seorang konsumen
dapat dikatakan tidak mempunyai hak pilih oleh dua sebab:
a.
Apabila dalam memenuhi kebutuhannya, ia terpaksa
oleh suatu ancaman tertentu, seperti akan menyakiti secara jasmani, psikologi,
atau mengancam utnuk tidak memenuhi haknya dalam masalah sosial ekonomi
lainnya.
b.
Apabila konsumen tidak mempunyai pilihan karena
kondisi yang dipaksakan oleh mekanisme pasar yang monopolistik.
Untuk mengatasi berlakunya harga yang
tidak normal di pasar, fikih Islam sudah menawarkan banyak solusi, si
antaranya:
a.
Pelarangan Praktek Ribawi
Dalam pelarangan
praktek riba terdapat suatu perlindungan bagi konsumen karena harta yang
dipinjam tersebut adalah barang yang dikonsumsi oleh para pemakainya, sedangkan
dengan membebani para konsumen dari harta pinjaman tersebut, maka beban dari
pihak yang meminjam uang tersebut akan bertambah besar. Lebih dari itu, praktek
riba akan langsung berpengaruh pada harga barang-barang yang diproduksi oleh
orang atau perusahaan debitur karena riba yang harus ia bayar pada kreditur
akan menambah beban biaya produksi. Hal ini seperti langsung mempengaruhi dan
membebani konsumen.
b.
Pelarangan Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
Fenomena praktek
monopoli lebih menonjol pada sistem ekonomi bebas, namun praktek dagang
monopoli tidaklah akan menghidup-kan kebebasan dagang, tapi justru akan
membunuh mekanisme kebebasan pasar. Keluarnya UU Nomor 5 tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat tidak saja melegakan para
pengusaha lemah, bahkan manfaatnya secara langsung dapat dirasakan oleh
masyarakat konsumen. Perilaku monopoli termasuk perbuatan sewenang-wenang dalam
mengguna-kan hak (al-ta’ssuf fi
al-isti’mal al-haq) karena untuk mewujudkan keuntungan pribadi, seorang
pelaku monopoli telah menimbulkan bahaya pada hak publik.[28]
Ketika Islam mengharamkan praktek monopoli, secara sepintas terlihat hal itu
sebagai tindakan semena-mena terhadap hak pribadi seorang yang bebas dalam
mengguna-kan hartanya.
c.
Pemberlakuan al-Tas’ir
(Fixing Price)
Pada prinsipnya
Islam tidak mengizinkan pemberlakuan tas’ir
dalam kondisi normal karena ia akan membunuh mekanisme pasar. Oleh karena itu,
Rasulullah enggan menaikkan harga barang-barang atau memaksa para pedagang
dengan harga tertentu, secara jelas menunjukkan kehati-hatian Beliau sebagai
pemerintah dalam hal ikut campur terhadap harta kekayaan rakyat. Akan tetapi,
apabila naiknya harga suatu komoditi pasar disebabkan oleh ulah para pedagang
misalnya, maka tas’ir diperbolehkan
untuk menolak bahaya yang akan menimpa publik. Dengan demikian, pemberlakuan al-tas’ir hendaknya dijadikan sebagai
suatu cara untuk mengatasi tindakan monopoli.
d.
Pemberlakuan Khiyar
al-Ghubn al-Fahisy (Perbedaan Nilai Tukar Menyolok)
Tujuan dari
perdagangan adalah mencari untung, sedangkan Islam tidak pernah memberikan
batasan tertentu bagi seorang pedagang dalam memperoleh untung. Namun
bagaimanapun juga, adalah tidak adil apabila seseorang membeli tidak sesuai
dengan barang, atau sesuai dengan harga yang sedang berlaku. Para ahli fikih
menganggap bahwa perbedaan harga yang menyolok merupakan salah satu penyebab
rusaknya rasa saling rela (taradhin),
maka adanya ketidaksetaraan nilai tukar yang menyolok antara dua barang yang
dipertukarkan (al-Ghubn al-Fahisy)
karena adanya perdayaan atau tipuan (al-Ghubn
al-Fahisy ma’a al-Taghrir) akan menyebabkan pihak yang membayar nilai tukar
mempunyai hak Khiyar.
e.
Pelarangan Jual Beli an-Najasy
Najasy
adalah perbuatan orang lain (bersekongkol dengan pedagang atau tidak) yang
sengaja menawar harga tinggi kepada pedagang, dengan tujuan agar para pembeli
tertarik membelinya dengan harga yang tinggi pula, sedangkan pelaku najasy itu sendiri tidak berniat membeli
barang tersebut.
f.
Pelarangan Jual Beli Talaqi Rukban dan Jual Beli al-Hadhir
li Bad
Jual beli talaqi rukban adalah perbuatan pedagang
suatu pasar yang sengaja menyambut dan membeli barang kafilah dagang dari luar
kota sebelum sampai di pasar. Sedangkan jual beli al-hadhir li bad adalah sikap pedagang suatu pasar atau kota yang
membujuk pedagang asing atau produsen agar ia menjadi perantara dagang dengan
cara menjual barang tersebut secara berangsur dengan harga yang lebih mahal.
Tujuan utama dari pelarangan praktek talaqi
rukban dan al-hadhir li bad ini
adalah tindakan preventif dari eksploitasi ketidaktahuan produsen terhadap
harga pasar, dan mengurangi jumlah pedagang dan makelar dalam hubungan dagang
karena semakin banyak jumlah pedagang, maka akan semakin tinggi pulalah harga
suatu barang.
3.
Perlindungan terhadap Keamanan Produk dan Lingkungan
Sehat
Kemajuan
teknologi dan berkembangnya volume perekonomian dan per-dagangan menuntut
pengawasan ekstra terhadap resiko-resiko yang mungkin timbul akibat penggunaan
produk tertentu. Hal inilah benar-benar menuntut tegaknya prinsip caveat venditor (pelaku usahalah yang
harus berhati-hati, bukan pembeli). Adanya consumer
ignorance[29]
mengakibatkan mudahnya terjadi bahaya atau efek samping yang akan menimpa
konsumen. Sebagai contoh kasus, untuk obat flu masyarakat diresahkan oleh
adanya kandungan senyawa phenylpropanolamine
(PPA) karena dapat menyebabkan stroke dan pendarahan otak, dimana menurut
Ditjen POM (Pengawasan Obat dan Makanan) terdapat 30 jenis obat yang mengandung
phenylpropanolamine (PPA) lebih dari
15 mg.[30]
Terdapatnya berbagai produk yang dapat membahayakan konsumen seperti minuman
keras dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika perlu mendapat pengawasan
dari pemerintah. Di samping itu, buruknya kondisi lingkungan yang disebabkan
oleh para pelaku usaha pada umumnya, perlu juga mendapat perhatian serius
karena setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya.
4.
Permasalahan dari Pemakaian Alat Ukur Tidak Tepat
Permasalahan
ketepatan alat ukur adalah sebuah permasalahan lama, namun masalah ini tidak
kunjung habis. Ketepatan alat ukur tradisional tentu tidak dapat disamakan
dengan alat-alat ukur kontemporer. Misalnya, barangkali tidak terlalu terlalu
banyak kita temukan terjadinya penipuan dalam masalah timbangan atau ukuran
panjang suatu barang dibeli pembeli karena zaman sekarang hamper setiap rumah
mempunyai alat ukur sejenis. Namun ketepat-an alat ukur yang kita maksud secara
lebih relevan dengan zaman sekarang adalah ketepatan antara sifat dan
kualifikasi barang yang diminta dengan yang diserahkan dari segala segi, mulai
dari ukuran berat, isi, kandungan isi, dan semua yang tertulis pada label atau
yang dijanjikan oleh penjual. Betapa banyak barang-barang yang jauh berbeda
antara label dengan kandungan isi dan kriteria
yang ditemukan konsumen karena sulit bagi sembarang orang untuk
mengetahuinya akibat kemajuan teknologi.
5.
Hak Mendapat Advokasi dan Penyelesaian Sengketa
Dalam Islam
semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap hukum,
sehingga Islam tidak mengenal hak prerogative bagi seorang presiden misalnya,
dan sehingga dalam memperlakukan kedua pihak yang bersengketa, hakim juga harus
adil, misalnya dalam berdiri, duduk, berbicara, menoleh, dan mendengar. Ibnu
Abiy al-Dam mengatakan bahwa seorang hakim tidak boleh berdiri ketika menyambut
kedatangan dua orang yang bersengketa, sebab hal itu akan membawa efek
psikologis yang tidak baik terhadap pihak yang lemah karena bisa jadi si lemah
akan merasa bahwa berdirinya hakim adalah untuk menghormati si mulia.[31]
F. Iklan dan Dimensi Etisnya
Pada bagian
sebelumnya telah disinggung perlindungan konsumen tentang bagaimana cara-cara
perusahaan mengiklankan barang yang akan diperjualbelikan. Pada kenyataannya,
banyak barang diperjualbelikan belakangan ini yang tidak sebanding dengan apa
yang telah diiklankan. Fenomena pemalsuan dan penipuan karena adanya keahlian
dan teknologi yang dimiliki oleh para pelaku pada hakekatnya tidak hanya
terjadi pada zaman kemajuan teknologi modern dalam bentuk iklan. Ibnu Taimiyyah
(661-728 H/1263-1238 M) dan Ibnu al-Qayyim (w. 751 H/1350 M) pernah
memperingatkan wali hisbah untuk benar-benar memberatkan hukuman bagi mereka
yang menyalahgunakan keahlian mereka untuk menipu masyarakat.
Dalam kajian
fiqih Islam, kebenaran dan keakuratan informasi ketika seorang pelaku usaha
mempromosikan barang dagangannya menempati kajian yang sangat signifikan. Islam
tidak mengenal sebuah istilah kapitalisme klasik yang berbunyi “ceveat emptor” atau “let the buyer beware” (pembelilah yang
harus berhati-hati), tidak pula “ceveat
venditor” (pelaku usahalah yang harus berhati-hati), tetapi dalam Islam
yang berlaku adalah prinsip keseimbangan (al-ta’dul)
atau ekuilibrium dimana pembeli dan penjual harus berhati-hati dimana hal itu
tercermin dalam teori perjanjian (nazhariyyat
al-‘uqud) dalam Islam. Sehingga Khalifah Umar ibn al-Khathab berkata: Orang yang tidak mengerti hukum pasar, tidak
dapat ambil bagian dalam aktivitas pasar kami. (Riwayat Tirmidzi dari Anas ibn Malik).[32]
Informasi yang
harus diberikan pada pembeli tidak hanya berhubungan dengan kuantitas dan
kualitas suatu barang, tetapi juga berkaitan dengan efek samping atau bahaya
pemakaian, perlindungan terhadap kepercayaan agama tertentu, seperti informasi
halal atau haramnya suatu produk. Salah satu tujuan promosi atau iklan yang
tidak jujur adalah agar barang dagangan tersebut laris atau menarik pembeli
untuk membelinya.
G. Contoh Kasus
Contoh kasus seperti
yang terjadi pada PT.Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) yang terjadi pada
tahun 2010 yang lalu. Kasus indomie yang mendapat larangan untuk beredar di
Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan
ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam indomie adalah methyl
parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Zat berbahaya ini umumnya
dikenal dengan nama nipagin. Pemerintah Indonesia meminta Taiwan memberikan
klarifikasi mengenai kandungan zat pengawet nipagin pada kecap yang disertakan
dalam kemasan mi instan asal Indonesia, indomie. Otoritas berwenang di Taiwan
mesti menjelaskan bahwa produk dari Indonesia aman dikonsumsi. Menteri
perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, klarifikasi atas informasi tersebut
sangat penting karena informasi yang salah tentang satu produk akan
mempengaruhi perdagangan produk ekspor Indonesia yang lain. “Kita minta badan
pengawas obat dan makanan di sana (Taiwan) memberikan klarifikasi bahwa produk
kita sudah memenuhi standar internasional, tidak berbahaya,” ujar Mari di
Jakarta (13/10/2010).[33]
Mari menyatakan, kandungan nipagin pada kecap manis dalam varian tertentu
produk indomie sudah sesuai peraturan menteri kesehatan tentang persyaratan
standar kandungan pengawet makanan.
Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) Kustantinah menuturkan, berdasarkan aturan dalam
negeri, batas maksimal penggunaan nipagin pada kecap manis 250 miligram per
kilogram. Aturan tersebut mengacu pada standar keamanan makanan global Codex
Alimentarius Comission. Batas maksimal penggunaan nipagin dalam kecap manis
pada Codex Alimentarius Comission malah lebih besar yakni 1.000 miligram per
kilogram. Kustantinah mengakui, Taiwan memang memiliki standar yang berbeda
dalam penggunaan nipagin pada kecap.
Indomie yang dianggap
Taiwan ‘berbahaya’ ternyata sebenarnya untuk spesifikasi pasar Indonesia. Tak
heran, ketika sampai di Taiwan, produk itu langsung tak memenuhi standar negara
tersebut. Hal itu terungkap berdasarkan hasil klarifikasi Kantor Dagang Indonesia
(KDI) di Taiwan kepada pihak produsen mie instan yakni Indofood untuk
memberikan keterangan mengenai informasi tersebut. Klarifikasi itu diajukan
setelah KDI di Taiwan mendapat surat pemberitahuan dari Departemen Kesehatan
setempat terkait kasus temuan produk mie instan indomie ‘berbahaya’.
“Yang ditemukan di
Departemen Kesehatan Taiwan adalah produk indomie yang harusnya beredar di
Indonesia”, kata Kepala Bidang Perdagangan Kantor Dagang dan Ekonomi Taiwan
Bambang Mulyanto di gedung DPR-RI, senayan, Jakarta, Senin (11/2010).[34]
Menteri Koordinator
(Menko) Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan, pemerintah tidak segan-segan
untuk melayangkan nota protes kepada Taiwan bila penarikan indomie didasari
motif persaingan dagang. Pemerintah berupaya memberikan perlindungan kepada
seluruh industri nasional. “Jika memang diketahui ada yang tidak adil, baik
dari sisi pemberitaan ataupun pengenaan sanksi, pemerintah akan memberikan
perlindungan”, ucapnya.
Hatta juga
mempertanyakan penarikan indomie yang baru dilakukan saat itu. Padahal, indomie
sudah masuk ke Taiwan sejak 20 tahun lalu. Pemerintah berharap penanganan kasus
indomie dilakukan secara adil. “Jangan sampai orang memerangi, kita diam saja.
Kan begitu kalau perang dagang”, lanjut Hatta.
Menurut Kustantinah,
Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision[35],
produk indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi
mutu, gizi dan keamanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota
CAC. Produk indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di
Indonesia, dan karena standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah
kasus indomie yang sampai dikaitkan perang dagang dengan pemain luar atau dalam
negeri.
Sebagaimana kasus yang
terjadi seperti contoh yang di atas, di sinilah Etika Bisnis Islam menjadi
relevan untuk ditumbuhkembangkan sebagai sebuah alternatif solusi keluar dari
kungkungan korup dan improfesionalisme tersebut. Bukan saja karena faktor studi
di dunia Barat yang membuktikan terpromosikan-nya sebuah perusahaan dan naiknya
rating dengan kode etik kerja, melainkan itu bagian dari perwujudan dan
profesionalitas yang menjadi keniscayaan ber-Islam-nya seorang muslim dan
realisasi adagium yang mengatakan: “a
good business is a good ethic”.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai hasil
akhir dari isi pembahasan materi Etika dalam Kegiatan Produksi dan Pemasaran.
Seperti pendapat pemakalah sebelumnya mengenai definisi etika, bisnis islam, produksi
dan pemasaran. Pemakalah menarik garis besar tentang definisi Etika Bisnis
Islam dalam Kegiatan Produksi dan Pemasaran, yaitu studi ilmu tentang kebiasaan
seseorang dalam menjalankan konsep muamalah pada kegiatan menciptakan
(produksi) dan menukarkan (pemasaran) hasil ciptaannya untuk pemenuhan kebutuhan
hidupnya sehari-hari.
Dalam konsep islam,
Etika Bisnis Islam memandang kegiatan produksi dan pemasaran masuk kedalam
kegiatan muamalah yang berlandaskan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
adalah orang yang memberikan contoh sekaligus menerapkan konsep etika bisnis
yang islami terhadap perniagaan. Salah satu contoh etika yang diterapkan oleh
Rasulullah adalah konsep kepercayaan, karena kepercayaan merupakan faktor
fundamental dalam mengembangkan loyalitas konsumen. Ia memulai bisnisnya dengan
modal trust saja, tanpa bermodalkan
harta benda. Etika transendental banyak ditemukan dalam ajaran Islam dan tak
terkecuali beberapa bahasan tentang kepercayaan, karena risalah Islam disebarkan di atas nama besar al-amin yang melekat dalam diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Bisnis yang sehat
adalah bisnis yang berlandaskan pada etika. Oleh karena itu, pelaku bisnis
muslim hendaknya memiliki kerangka etika bisnis yang kuat, sehingga dapat mengantarkan
aktivitas bisnis yang nyaman dan berkah. Bisnis islami dikendalikan oleh aturan
syari’ah, seperti berupa halal dan haram, baik dari cara memperolehnya maupun
pemanfaatannya. Sementara bisnis non-islami di-landaskan pada sekularisme yang
bersendikan pada nilai-nilai material.
Bisnis islami merupakan
bisnis yang hanya akan hidup secara ideal dalam sistem dan lingkungan yang
islami pula. Dalam lingkungan yang tidak islami, maka pelaku bisnis akan mudah
sekali terseret dan sukar berkelit dalam kegiatan yang dilarang agama. Mulai
dari uang pelicin saat perizinan usaha, menyimpan uang dalam rekening koran
yang berbunga, hingga iklan yang tidak senonoh, dan aktivitas semacamnya.
Dengan demikian, tumbuh tidaknya jenis kegiatan bisnis akan sangat bergantung pada
macam sistem dan lingkungan yang ada.
B. Saran
Jika kita
melihat kondisi di negara kita saat ini memang masih sering terjadi
penyimpangan etika dalam berbisnis, apalagi berbisnis secara syar’i yang pada
kenyataannya bukan berbisnis secara syar’i, melainkan berbisnis dengan
berentitaskan nama “syari’ah”. Saran dari pemakalah sebenarnya lebih kepada
penegasan terhadap generasi ekonom rabbani dalam menegakkan panji-panji ekonomi
syari’ah yang berlandaskan al-Qur’an dan As sunnah, sebagaimana yang
dicontohkan oleh Baginda Rasulullah saw. Dan para sahabatnya, supaya tidak
terjadi seperti contoh-contoh kasus yang pemakalah paparkan dalam materi ini.
DAFTAR PUSTAKA
ü
Muhammad, Etika
Bisnis Islami, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2013.
ü
Rafik Issa Beekun, Etika Bisnis Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
ü
Mustaq Ahmad, Etika
Bisnis dalam islam, Penj. Samson Rahman, Jakarta: Pustaka al-kautsar, 2001
ü
Hussain Shahata, Business
Ethics in Islam, Al-Falah Foundation 1999
ü
Yusuf Qhardhawi, Peran
Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Jakarta: Rabbani Press, 1995.
ü
Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dalam Konteks, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
1992.
ü
Faisal Badroen, Suhendra, M. arief Mufraeni, Ahmad
D. Bashori, Etika Bisnis dalam Islam, Jakarta:
KPMG, 2012.
ü
Dawam Rahardji, Etika
Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam PJP II, Prisma, 1995.
ü
Ika Yunia Fauzia, Etika Bisnis dalam Islam,
Jakarta: KPMG, 2013.
ü
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), edisi januari 2001.
[1] Rafik Issa Beekun, Islamic
Business Ethics, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 1.
[2] Hussain Shahata, Business
Ethics in Islam, (Al-Falah Foundation 1999), hlm. 2.
[3] Faisal Badroen, dkk, Etika
Bisnis dalam Islam, (Jakarta: KPMG, 2012), hlm. 4.
[4] Mustaq Ahmad, Etika Bisnis
Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hal. 1.
[5] Muhammad, Etika Bisnis
Islami, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2013), hal. 7.
[6] Muhammad, Etika Bisnis
Islami, hal. 14.
[7] Muhammad, Etika Bisnis
Islami, hal. 158.
[8] Franz Magnis Suseno, Berfilsafat
dalam Konteks, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm 156-162.
[9] Rafik Issa Beekun, Islamic
Business Ethics, hlm. 3.
[10] Muhammad, Etika Bisnis Islami,
hlm. 15.
[11] Dawam Rahardji, Etika Bisnis
Menghadapi Globalisasi dalam PJP II, (Prisma, 1995), hlm. 2.
[12] Ika Yunia Fauzia, Etika
Bisnis dalam Islam, (Jakarta: KPMG, 2013), hlm. 3.
[13] Yusuf Qardhawi, Peran Nilai
dan Moral Dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2001), hlm.
138.
[14] Ika Yunia Fauzia, Etika
Bisnis dalam Islam, hlm. 4.
[15] Ika Yunia Fauzia, Etika
Bisnis dalam Islam, hlm. 5.
[16] Muhammad, Etika Bisnis Islami,
hlm. 95.
[17] Yusuf Qardhawi, Peran Nilai
dan Moral Dalam Perekonomian Islam, hlm. 135.
[18] Muhammad, Etika Bisnis Islami,
hlm. 103.
[19] Dalam pemenuhan kebutuhan setiap individu, ada 8 unsur yang harus
terpenuhi , yaitu: (1) Jumlah makanan yang cukup, (2) Jumlah air yang cukup,
(3) Pakaian yang menutuoi aurat, (4) Tempat tinggal yang sehat, (5) Sejumlah
harta yang bisa ditabung untuk melakukan pernikahan dan membentuk keluarga
muslim, (6) Sejumlah harta yang dapat membantunya menuntut ilmu, (7) Sejumlah
harta untuk berobat jika sakit, (8) Kelebihan harta yang ditabung untuk
keperluan ibadah haji ke Baitullah. Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam, hlm. 180-190.
[20] Muhammad, Etika Bisnis Islami,
hlm. 99.
[21] Muhammad, Etika Bisnis Islami,
hlm. 100-101.
[22] HR. Ahmad
[23] Surah An Nisaa’ : 29
[24] Al-Hadis
[25] Muhammad, Etika Bisnis Islami,
hlm. 102.
[26] Muhammad, Etika Bisnis Islami,
hlm. 159.
[27] Apakah produsen bertanggung jawab bila produknya mengakibatkan
kerugian pada konsumen. Jika terjadi kerugian pada konsumen, maka produsen
harus berani untuk menggantinya dengan produk yang baru. Baca, K Bertens, hlm.
232.
[28] Muhammad, Etika Bisnis Islami,
hlm. 176.
[29] Consumer ignorance, yaitu
ketidakmampuan konsumen menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan
keragaman produk yang dipasarkan, sehingga hal ini dapat saja disalahgunakan
oleh para pelaku usaha.
[30] Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), edisi januari 2001, hlm.
28
[31] Muhammad, Etika Bisnis Islami,
hlm. 185.
[32] Muhammad, Etika Bisnis Islami,
hlm. 203-204.
[33] Seperti diberitakan, Taiwan menarik peredaran indomie dari sejumlah
supermarket lantaran dianggap mengandung zat pengawet nipagin (methyl parahydroxi benzoate). Zat yang
biasa digunakan untuk produk kosmetik ini terdapat pada kecap yang disertakan
dalam kemasan mi instan. (baca http://economy.okezone.com/read/2010/10/13/320/381919/ri-minta-klarifikasi-kasus-indomie).
Diakses tanggal 24 Maret 2014, pukul 20.15 WITA
[34] Sebelumnya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memastikan
produk buatan Indonesia itu aman dikonsumsi. Kustantinah menjelaskan BPOM
mempunyai aturan yang mengatur bahan tambahan makanan yang diperbolehkan ada di
dalam pangan dengan batas maksimum penggunaannya. (baca http://www.menkokesra.go.id/content/kasus-indomie-mestinya-untuk-indonesia).
Diakses tanggal 24 Maret 2014, Pukul 20.40 WITA
[35] Forum CAC (Codex Alimentarius Commision) merupakan organisasi
perumus standar internasional untuk bidang pangan.
Lengkap sekali mas,. pingin terus belajar meniru cara Rosulullah berdagang,..
BalasHapusbuat rekan mahasiswa silahkan download lengkap Makalah Etika dalam Kegiatan Produksi dan Pemasaran
sangat membantu gan artikelnya thanks
BalasHapus