script> var linkMagzSetting = { menuSticky : true, relatedPosts : true, jumlahRelatedPosts: 4, relatedPostsThumb: true, infiniteScrollNav : true, tombolDarkmode : true, scrollToTop : true, fullwidthImage : true, bacaJuga : true, jumlahBacaJuga : 3, judulBacaJuga : "Baca Juga", showHideTOC : true, judulTOC : "Daftar Isi", tombolPesanWA : true, judulPesanWA : "Pesan via WhatsApp", nomorWA : 6285729848098, teksPesanWA : "Halo admin. Saya mau pesan", };
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Akad Sharf

 


Apa yang dimaksud sharf?

Menurut bahasa, sharf berasal dari kata al-sarafah yang memiliki banyak makna. Al-sarafah dalam bahasa arab dapat bermakna mengembalikan, menafkahkan, menukar, atau menolak. Sedangkan dalam istilah fiqh, sharf merupakan akad pertukaran atau jual-beli mata uang yang sama nilainya dan dilakukan sebelum pelakunya berpisah. Pengertian lainnya yaitu di dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah disebutkan bahwa al-sharf berarti menjual uang dengan uang lainnya . Artinya, pertukaran mata uang dengan mata uang lainnya yang senilai dan dilakukan secara tunai. Misalnya, menukar uang Rp.70.000,00 dengan 5 USD (Kurs=Rp.14.000,00/USD).

Pada istilah modern atau kontemporer, sharf disebut dengan banyak istilah lain. Istilah-istilah yang dimaksud ini misalnya transaksi valuta asing, money changer, foreign exchange (forex), atau valas. Namun, meskipun istilah-sitilah tersebut sepintas berbeda, secara makna tetaplah memiliki arti yang sama dengan sharf yaitu pertukaran atau jual-beli mata uang dengan mata uang lainnya yang senilai.

Apa saja rukun dan syarat sharf?

Rukun sharf ada lima yaitu (a.) Penjual (Ba’i), (b.) Pembeli (Musytari), (c.) Mata uang yang diperjual-belikan (Sharf), (d.) Nilai tukar (Si’rus sharf), dan (e.) Ijab qabul (Sighat) . Adapun syarat-syarat sharf ada empat yaitu:

Saling serah-terima sebelum keduanya berpisah. Serah terima yang dilakukan setelah berpisah tidak sah. Penyebabnya karena ada kemungkinan nilai uang akan berubah setelah dilakukan akad.

Memiliki kualitas yang sama. Kualitas yang dimaksud adalah nilai kedua mata uang yang harus sama. Misalnya, jika nilai mata uang asing yang akan ditukar adalah Rp.70.000,00 maka nilai yang dibayarkan juga harus Rp.70.000,00.

Tidak boleh ada khiyar syarat. Artinya, dalam sharf tidak boleh adanya khiyar dengan syarat tertentu misalnya sharf boleh dibatalkan ketika terjadi penurunan nilai pada uang selama 3 hari setelah jual-beli. Syarat seperti ini dapat merubah nilai uang seiring waktu dan membuatnya tidak sama nilainya ketika pertama kali dilakukan akad.

Tidak boleh ada batasan waktu tertentu (al-ajl) . Batasan waktu ini tidak diperbolehkan karena uang cenderung mengalami naik turun seiring waktu. Sifat uang yang fluktuatif ini jika diberi batasan waktu akan menimbulkan kerugian pada salah-satu pihak.

Bagaimana hukum sharf?

Jika rukun dan syaratnya telah terpenuhi, maka hukum dari sharf adalah boleh. Meskipun dalam beberapa hal terkait rukun dan syarat para ulama terkadang berbeda pendapat, kesemuanya tetap satu dalam pemikiran bahwa sharf merupakan akad yang hukumnya mubah (boleh). Keyakinan ini berdasarkan kesimpulan bahwa akad sharf termasuk jual-beli dan hukumnya di sandarkan pada ayat-ayat tentang jual beli. Misalnya, pada potongan ayat 275 surah al-Baqarah yang artinya, “.......padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.....”. Setelah ayat tersebut, ketentuan sharf disandarkan pula pada hadits yang berbunyi:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk membeli perak dengan emas sekehendak kami dan membeli emas dengan perak sekehendak kami, bila tangan dengan tangan (taqabudh/serah terima di tempat). (Muttafaqun ‘alaih) 

Berdasarkan hadits tersebut, tampak jelas bolehnya menukar mata uang (emas dan perak) dengan syarat tunai atau dibayar di tempat. Pendapat ini mayoritas disepakati oleh ulama Malikiyah. Menurut mereka, tidak ada penundaan apapun terkait sharf bahkan jika itu disebabkan oleh kondisi yang tidak dapat dihindari (ghabhah). Bahkan, menurut mayoriitas ulama dari mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, Hanafiyah, dan Hanbaliyah bahwa sharf yang penyerahannya tidak secara tunai atau langsung maka hukumnya tidak sah atau haram. Selain itu, yang juga mesti menjadi pokok perhatian dalam sharf adalah terkait nilai mata uang yang dipertukarkan. Nilainya mesti sama atau setara, tidak terdapat kelebihan yang berpotensi menyebabkan riba. Pendapat ini sesuai hadits:

Jangan tukar Emas dengan emas kecuali sepadan, dan janganlah kalian lebihkan sebagian atas sebagian lainnya, dan Jangan tukar wariq (perak atau dirham) dengan wariq kecuali sepadan, dan janganlah kalian lebihkan sebagian atas sebagian lainnya, dan juga jangan tukar sesuatu yang tidak ada di tempat dengan sesuatu yang ada di tempat saat itu .

Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh menukar mata uang dengan kelebihan di dalamnya. Sebgaimana isi hadits tersebut di atas. Namun, Imam Malik tetap memperbolehkan kelebihan jika itu sangat sedikit dan pada kondisi yang tidak dapat dihindari (ghabhah). Kitab Mawahib al-Jalil milik al-Ḥaṭab menceritakan bahwa Imam Malik ra. pernah ditanya tentang seorang yang menukar dinarnya dengan dirham ke money changer, dan beliau menyarankan untuk membawa dirham hasil penukaran tadi untuk ditaksir ke money changer lain yang ditunjuk oleh beliau. Hasilnya, ada perbedaan dengan selisih kecil yang kemudian Imam Malik berkata: “sekiranya ada selisih kecil, saya harap itu tidak apa-apa...”. Ibn Rushd juga memandang hal tersebut adalah rukhsah (keringanan) sebab adanya kebutuhan yang mendesak sedang mayoritas masyarakat tidak dapat membedakan kurs uang, dan serah terima juga sudah terjadi sebelumnya . Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami bahwa transaksi valuta asing atau sharf dapat dibenarkan secara hukum jika syarat-syarat yang dikemukakan tersebut terpenuhi. Wallahu alam!


Posting Komentar untuk "Akad Sharf"