script> var linkMagzSetting = { menuSticky : true, relatedPosts : true, jumlahRelatedPosts: 4, relatedPostsThumb: true, infiniteScrollNav : true, tombolDarkmode : true, scrollToTop : true, fullwidthImage : true, bacaJuga : true, jumlahBacaJuga : 3, judulBacaJuga : "Baca Juga", showHideTOC : true, judulTOC : "Daftar Isi", tombolPesanWA : true, judulPesanWA : "Pesan via WhatsApp", nomorWA : 6285729848098, teksPesanWA : "Halo admin. Saya mau pesan", };
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

"PEMANFAATAN BARANG GADAI DALAM ISLAM" By Ali Wardani

A. Pemanfaatan Barang Gadai

    Pada dasarnya, pemanfaatan barang gadai dalam Islam itu dilarang jika tanpa izin sang penggadai/pemilik barang. Pendapat ini datang dari sebagian ulama mazhab Hanafi yang menyebut bahwa dengan adanya izin, maka tidak ada yang menghalangi penerima gadai untuk memanfaatkan barang gadai (Nst, 2012). Berbeda dengan pendapat ini, ulama mazhab Maliki dan Syafi’ii tetap melarang pemanfaatan barang gadai oleh penerima gadai karena dianggap  sebagai tambahan yang lekat dengan riba. Pendapat ini juga disepakati oleh ulama mazhab Hambali yang menyebut bahwa penerima gadai hanya boleh menyimpan barang gadai sebagai bentuk jaminan jika penggadai tidak mampu atau tidak mau membayar utangnya. Pendapat ini didasarkan pada hadis bahwa Abu Hurarirah ra mendengar Rasulullah SAW bersabda:

Terjemahnya:

    Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya. (HR. Al-Hakim, al-Daraquthni dan Ibnu Majah). 

    Berdasarkan sabdanya, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa baik manfaat maupun resiko barang gadai merupakan tanggug jawab penuh penggadai. Misalnya jika barang gadai kemudian menghasilkan uang misal emas yang mengalami kenaikan harga, maka kenaikan harga tersebut tetap milik penggadai. Begitu pula jika harga emas turun, maka penurunan harga tersebut merupakan resiko penggadai. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan barang gadai itu dilarang dalam Islam karena disebut termasuk praktik riba (Misno, 2018). Meskipun begitu, beberapa ulama Hanafiyah tetap memperbolehkan asal ada izin dari penggadai.

B. Barang Gadai Berupa Hewan Ternak

    Apabila barang gadainya berupa hewan atau binatang ternak maka penerima gadai boleh memanfaatkannya dalam batas tertentu. Sebagai contoh, jika yang digadai merupakan kambing atau unta, maka penerima gadai boleh meminum susunya sesuai dengan biaya yang ia keluarkan dalam merawat kambing atau unta tersebut. Ulama mazhab Maliki dan ulama mazhab Syafi’i berpendirian bahwa jika hewan tersebut dibiarkan saja, tidak diurus oleh pemiliknya, maka pemegang atau penerima gadai boleh saja memanfaatkannya (Nst, 2012). Pendapat ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang berbunyi:

Terjemahnya:

    Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. (Shahih Muslim)

    Berdasarkan hadis, dapat dikatakan jika barang gadai berupa hewan peliharaan yang memerlukan makanan maka penerima gadai boleh menggunakannya sebagai tunggangan atau memerah susunya (Sholihah, 2019). hal ini juga sebagai sebuah kemaslahatan bagi barang gadaian yang berupa hewan peliharaan, karena tidak mungkin hewan-hewan tersebut dibiarkan begitu saja tanpa perawatan, karena itu penerima gadai diberi keringanan (rukhsah) memanfaatkannya sesuai dengan kadar pemeliharannya. Jadi, kesimpulannya yaitu penerima gadai boleh memanfaatkan barang gadai sejumlah dengan biaya yang ia keluarkan untuk perawatan barang gadai. 

C. Pemanfaatan Barang Gadai Perfektif Hukum di Indonesia

    Berdasarkan KUH Perdata, barang gadai di Indonesia tidak boleh dimanfaatkan oleh penggadai. Ketentuan ini merujuk pada pasal 1150 KUH Perdata yang menyebut bahwa barang gadai hanya bertindak sebagai jaminan dalam utang piutang, bukan berarti ada pemindahan kepemilikan atau hak guna sebagaimana dalam jual beli. Selain itu, dalam pasal 1152 disebutkan bahwa “.........hal tidak adanya wewenang pemberi gadai untuk bertindak bebas atsa barang itu......”. Berarti pemberi gadai juga tidak bebas memanfaatkan atau mengolah barang gadai tersebut (Sholihah, 2019). Bahkan, jika barang gadai rusak atau hilang di tangan penerima gadai sedangkan utang penggadai masih belum lunas, maka penerima gadai harus mengganti barang gadai. 

    Selain itu, dalam pasal 1157 KUH Perdata, pihak yang berhutang harus mengganti seluruh biaya yang dikeluarkan dalam memelihara barang gadai (Thalhah, 2007). Artinya, penggadai tetap harus memberi biaya pemeliharaan barang gadai kepada penerima gadai jika barang gadai memerlukan perawatan khusus. Adapun barang gadai dalam konteks Indonesia hanya sebagai jaminan utang piutang. Sehingga pemanfaatan barang gadai, baik oleh penerima gadai atau pemberi gadai tidak diperbolehkan. Barang gadai dalam hukum Indonesia harus benda yang dapat disimpan di tempat pegadaian. Ketentuan ini merujuk pada istilah benda bergerak yaitu benda berharga seperti emas, perak, kain sutera dan sebagainya. Sedangkan tanda bukti kepemilikan barang (benda tak bergerak) dalam hukum pegadaian di Indonesia disebut dengan hipotek. Contoh dari barang tak bergerak ini misalnya surat kepemilikan kendaraan atau tanah.  

 

DAFTAR PUSTAKA

Misno, A. (2018). Gadai dalam Syari’at Islam. Ad-Deenar: Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Islam, 1(01), 26–39.

Nst, A. S. (2012). Pemanfaatan Barang Gadai Menurut Hukum Islam. Jurnal Ushuluddin, 18(2), 156–166.

Sholihah, H. (2019). Pemanfaatan Barang Gadai Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Perdata Indonesia. Al-Afkar, Journal For Islamic Studies, 105–124.

Thalhah, H. M. (2007). KEDUDUKAN BARANG GADAI Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perdata di Indonesia.


Posting Komentar untuk ""PEMANFAATAN BARANG GADAI DALAM ISLAM" By Ali Wardani"