script> var linkMagzSetting = { menuSticky : true, relatedPosts : true, jumlahRelatedPosts: 4, relatedPostsThumb: true, infiniteScrollNav : true, tombolDarkmode : true, scrollToTop : true, fullwidthImage : true, bacaJuga : true, jumlahBacaJuga : 3, judulBacaJuga : "Baca Juga", showHideTOC : true, judulTOC : "Daftar Isi", tombolPesanWA : true, judulPesanWA : "Pesan via WhatsApp", nomorWA : 6285729848098, teksPesanWA : "Halo admin. Saya mau pesan", };
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Akad Wadiah


Apakah yang dimaksud wadiah?

    Wadiah secara bahasa (etimologi) berasal dari akar kata wada’a yang bermakna sama dengan kata taraka yang berarti meninggalkan. Barang diserahkan kepada orang lain untuk dijaga lantas ditinggalkan oleh pemiliknya, karena itulah disebut meniggalkan. Adapun secara istilah (terminologi), kata wadi’ah berarti menempatkan sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk dipelihara . Artinya, wadiah juga dapat berarti titipan murni dari satu pihak kepada pihak lain tanpa adanya pembayaran atau balas jasa. Misalnya, A menitipkan sepeda motor miliknya kepada B tanpa adanya balas jasa atau pembayaran kepada B.

    Akad wadiah sering pula disebut dengan titipan murni. Disebut demikian karena wadiah merupakan titipan tanpa balas jasa dan murni berlandaskan tolong menolong. Jelasnya, dalam wadiah seseorang dititipi barang oleh orang lain dan tidak mengharapkan atau mendapat balasan apapun kecuali pahala karena telah menolong sesama. Berdasar alasan ini pula, wadiah dikategorikan sebagai akad saling tolong menolong yang dikenal dengan akad tabarru. Akad dalam fiqh muamalah yang berlandaskan sukarela atau dasar tolong menolong.

Apa saja rukun dan syarat wadiah?

    Pada dasarnya setiap akad dalam fiqh muamalah memiliki rukun. Adapun rukun akad wadiah yaitu: (a) Barang yang dititipkan, (b) Orang yang menitipkan/penitip, (c) Orang yang menerima titipan/penerima titipan, dan (d) ijab qabul (sighat) . Sedangkan jika membahas syarat-syarat wadiah, setidaknya terdapat satu syarat utama dalam wadiah yaitu pelaku akad wadiah harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagai pelaku akad. Adapun syarat-syarat pelaku akad wadiah yang dimaksud para ulama tersebut yaitu:

    Syarat wadiah menurut Hanafiah adalah pihak pelaku akad disyaratkan harus orang yang berakal, sehingga sekalipun anak kecil namun sudah dianggap telah berakal dan mendapat izin dari walinya, akad wadiah-nya dianggap sah. 

    Jumhur mensyaratkan dalam wadiah agar pihak pelaku akad telah baligh, berakal dan cerdas, karena akad wadiah mengandung banyak resiko, sehingga sekalipun berakal dan telah baligh namun tidak cerdas menurut Jumhur akad wadiah-nya tidak dianggap sah .

Bagaimana hukum wadiah?

    Hukum wadiah adalah mubah atau boleh. Hukum ini di dasarkan pada nash al-Quran, hadits, dan ijma para ulama. Berdasarkan potongan surah al-Baqarah ayat 283 yang artinya, “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya...”, dapat dipahami bahwa setiap manusia harus menunaikan amanatnya termasuk utang. Selain itu, tampak jelas pula perintah untuk saling mempercayai sesama manusia. Atas dasar ini, maka wadiah diperbolehkan karena mengandung pelaksanaan perintah untuk mempercayai sesama dan menunaikan amanah titipan. Selain itu, perintah untuk menunaikan amanat titipan juga diperjelas dalam surah an-Nisa ayat 58 yang berbunyi:

۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا  

Artinya:

    Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat

Berdasarkan ayat tersebut, tampak perintah yang jelas tentang menunaikan amanat titipan dari orang lain. Perintah ini kemudian ditegaskan lagi dalam hadits yang artinya, “Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khiyanat kepada orang yang telah menghianatimu)”. Hadits tersebut menurut At-Turmuzi adalah hadits “hasan” sedang Imam Al-Hakim mengkategorikan sebagai hadits sahih . 

    Selain dasar ayat dan hadits tersebut, wadiah diberi hukum boleh berdasarkan ijma para ulama. Ibnu Qudamah r.a menyatakan bahwa sejak zaman Rasulullah Saw sampai generasi berikutnya, wadiah telah menjadi ijma amali yaitu konsensus dalam praktek bagi umat Islam dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya . Para ulama juga berpendapat bahwa wadiah merupakan jalan tolong menolong dan mendekatkan diri kepada Allah Swt, karenanya orang yang menerima wadiah akan mendapatkan imbalan pahala.

Apa saja jenis-jenis wadiah?

    Terdapat dua jenis wadiah yaitu wadiah yad-amanah dan wadiah yad-dhamanah. Wadiah yad-amanah yaitu jenis wadiah yang penerima titipannya tidak boleh mengambil manfaat atau memanfaatkan barang yang dititipkan padanya sampai pemiliknya datang dan mengambil barang tersebut. Misalnya, A menitipkan sepeda motornya kepada B, maka B tidak boleh memakai atau memanfaatkan sepeda motor tersebut hingga A datang dan mengambilnya kembali. Sebaliknya, wadiah yad-dhamanah merupakan jenis wadiah yang mana memperbolehkan penerima titipan mengambil manfaat atau memanfaatkan barang yang dititipkan padanya. Misalnya, A menitipkan sepeda motornya kepada B, maka B boleh memakai atau memanfaatkan sepeda motor tersebut hingga A datang dan mengambilnya kembali.

    Berdasarkan literatur fiqh, dilarang mengambil upah dalam pelaksaaan wadiah. Artinya, dilarang bagi penerima titipan menetapkan biaya penitipan bagi si penitip barang baik berupa uang maupun barang. Namun, dalam kondisi atau jenis barang tertentu maka si penerima titipan diperbolehkan meminta biaya perawatan untuk barang yang telah dititipkan padanya. Misalnya, seseorang yang dititipi seekor sapi boleh meminta biaya penitipan karena selama sapi dititipkan padanya, dia harus mencarikan rumput atau mengurus semua kebutuhan sapi tersebut.

    Lebih jauh, dijelaskan pula bahwa atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang benar-benar tidak disengaja dan bukan karena kelalaian penerima titipan, maka penitip tidak boleh meminta ganti rugi apapun kepada penerima titipan. Ketentuan ini berdasarkan hadits yang artinya, “Barangsiapa yang dititipkan wadiah, maka dia tidaklah menanggungnya.” (HR. Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah) . Pada sebuah kisah juga pernah diceritakan bahwa Abu Bakar r.a pernah dititipi harta milik bani Mush’ab oleh Urwah bin Az Zubair. Namun, harta tersebut terkena musibah ketika berada di tangan Abu Bakar dan karenanya Urwah mengutus orang untuk menyampaikan kepada Abu Bakar bahwa dia tidak perlu menanggungnya karena dia hanyalah orang yang diberi amanah. Akan tetapi Abu Bakar lantas berkata, “Aku tahu bahwa aku tidak perlu menanggungnya, akan tetapi nanti orang-orang Quraisy mengatakan bahwa aku tak lagi amanah,” lalu dia menjual harta miliknya dan mengganti harta tersebut. Wallahu alam!


Posting Komentar untuk "Akad Wadiah"