Bank Syariah dan Ekonomi Masyarakat Lemah

Bank Syariah dan Ekonomi Masyarakat Lemah
By Muhammad Syarif Nurdin (Kader FORKEIS & Ketua HMJ Ekonomi Islam UINAM Periode 2014-2015)

Isu keadilan merupakan isu sentral lahirnya bank syariah dengan penolakan paranata bunga. Bunga yang dianggap sebagai instrumen yang lebih berpihak pada pemodal membuat sebagian pihak merasakan adanya ketidakadilan dalam pranata ini.
Dalam konteks historispun sebagaimana yang termaktub dalam doktrin skolastik penolakan ini dalam konteks ketidakadilan. Thomas Aquinas mengatakan bahwa adanya pungutan bunga atas uang yang dipinjamkan merupakan suatu tindakan yang tidak adil atas uang itu, kerena ini berarti menjual sesuatu yang tidak ada.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Antonius yang mengatakan bahwa uang tidak dapat memberi keuntungan bagi uang itu sendiri, akan tatapi ia dapat menjadikan barang yang menguntungkan dengan cara mengkaryakan uang tersebut dalam perdagangan.
Tak kala keras dalam mengecam bunga Mirbean yang merupakan penulis berkebangsaan Italia mengungkapkan bahwa bunga uang menghancurkan masyarakat dengan memberikan pendapatan ke tangan orang yang tak bertanah, produser, pekerja pabrik, dan orang semcam ini kata Mirbean hanya dapat diumpamakan sebagai seekor kerbau, yang hidup dengan merampas madu yang ditimbulkan oleh masyarakat lebah.
Suatu pembuktian bahwa sejak dulu telah ada penentangan penggunaan bunga dari berbagai kalangan dengan alasan adanya ketidakadilan dan faktor penindasan terhadap masyarakat miskin. Meskipun penggunaan bunga tetap ada pada setiap masa, akan tetapi pada setiap masa tersebut terdapat kelompok yang menentangnya.
Sebagaimana yang terjadi pada masa sekarang ini, penggunaan bunga pada sektor ekonomi khususnya perbankan telah memicu reaksi kalangan muslim untuk menolak sistem itu dan menggantinya dalam suatu sistem bagi hasil. Bukannya tanpa alasan sistem bagi hasil ini menjadi alternatif penggantian pranata bunga, selain karena dianggap adanya unsur keadilan yang dikandungnya juga karena pranata bagi hasil ini telah menjadi suatu sistem transaksi tersendiri pada masa awal Islam dan telah di praktekkan sendiri oleh sahabat.
Olehnya itu, isu ini kemudian dibawa dalam ranah perbankan, dari itu muncullah perbankan syariah dengan gaun bagi hasilnya yang dianggap memiliki perbedaan yang jelas dengan perbankan konvensional dengan gaun bunganya yang dianggap membawa kemelaratan pada masyarakat miskin.
Prinsip kemaslahatan yang dibawa oleh perbankan syariah memberi harapan dan peluang bagi masyarakat kelas ekonomi lemah mendapat tempat yang cukup baik dalam kegiatan ekonomi. Namun ternyata keberpihakan bank syariah terhadap masyarakat kecil itu masih sangat minim seperti yang dikemukakan oleh M. Dawam Rahardjo bahwa dalam pelaksanaan perbankan syariah ternyata 70 persen akad berupa transaksi murabahah yang melayani kebutuhan konsumsi dan perdagangan dengan sistem mark up sedangkan produk-produk lain berupa akad qardul hasan (fasilitas kebajikan) yang diperuntukkan untuk kalangan bawah sangat terbatas.
Data ini menujukkan bahwa bank syariah yang awalnya lahir atas nama ketimpangan yang terjadi akibat bunga lambat laun dalam penggunaannya lebih beriorentasi pada keuntungan saja yang seharusnya manfaat dari adanya bank syariah harus dirasakan betul oleh kalangan bawah.
Lebih lanjut dalam analisanya Dawam Rahardjo menilai bahwa bagi hasil yang diterima ataupun dibebankan kepada debitor rata-rata lebih tinggi dari suku bunga dalam kaitan ini yang diuntungkan ialah investor dan depositor pemilik dana dan yang dirugikan adalah debitornya.
Timbul pertanyaan, "Apa bedanya dengan bank konvensional kata Dawam Rahardjo. Kiranya jika ini yang terjadi maka memang benar bahwa secara substansial yakni dalam pembebanan yang dibayarkan lebih tinggi daripada bunga maka perlu ada proses peninjauan kembali pada konsep ini, mengingat ia lahir akibat dari derita yang ditimbulkan bunga.
Bukan berarti bahwa dalam bagi hasil merupakan akad yang diterima keabsahannya karena dianggap bebas dari unsur penindasan, penzdoliman, dan ketidakadilan diterima begitu saja. ketika dikemudian hari mengalami  proses pengkapitalisasian maka kiranya akad ini harus dikembalikan pada tujuan dan fungsi dasarnya yakni bank syariah dibentuk dengan tujuan menghapus riba dalam industri keuangan dengan maksud mengangkat martabat kaum ekonomi lemah, dengan kata lain bank syariah hadir untuk membebaskan masyarakat ekonomi lemah dari himpitan ekonomi.

Posting Komentar

0 Komentar