Ellunar Publisher Terbitkan Puisi Kader Kader Forkeis dalam Bukunya

Puan

(Oleh: Diaul Muhsinat)

Puan,

Jelitamu tidak bertahan lama jika dibandingkan dengan keelokan adab dan pekerti

Abaikan komentar buruk tentang tubuhmu, penampilanmu,

Berkulit hitam, berkulit putih, bermata besar, bermata sipit, gemuk, kurus, pendek, tinggi,

Ingatlah setiap puan akan keriput sedangkan keelokan adab selamanya memancarkan cantikmu

Puan,

Pilihlah pekerjaan halal apapun yang kau sukai

Berdedikasilah dibidang yang kau tekuni

Jangan ragu mencapai apa yang kau impikan

Jadilah puan hebat yang diimpikan

Puan,

Jangan terpengaruh mereka yang menikah lebih cepat darimu

Memilih untuk sendiri atau berdua adalah pilihamu

Jangan terpaku pada standar sosial yang tidak sesuai hidupmu

Cukup yakin akan ada masanya tuan dan puan bersatu

Puan,

Banyak yang bilang kau di dapur saja

Ingat bahwa ditanganmu dibentuk penerus bangsa

Padahal jika mereka tahu tekad dan kerja keras bukan hanya untukmu

Tapi untuk orang sekitar dan keturunanmu

Nak, Tak perlu membela diri

Dengar dan lakukan saja nasehat abah

Dirimu, Perempuan

(Oleh: Nur Ilmi)

Hei, kamu! Ya, perempuan.

Orang orang menerka dirimu begitu kuat

Wajah sumringah kau tampakkan sana sini.

Berlarian terbahak seolah tak punya beban.

Pun punya, tak suka kau menyatakan.

Maka menunggu "kenapa?" menjadi pilihan.

Hei kamu! Ya, perempuan.

Tak jarang kau dikata cengeng.

Ketika setumpuk bulir bening di pelupuk matamu,

Dengan mudah jatuh disisi pipimu.

Tak jarang kau dikata labil.

Ketika teguhmu goyah oleh rasa iba.

Tak jarang kau disebut pendusta.

Saat bijakmu harus memilih satu dari dua hal yang sama penting.

Pula tak jarang kau dikata egois.

Ketika pahammu memakai hati, bukan otak.

Kalah telak!

Hei, kamu! Iya kamu, siapa lagi!

Kamu para perempuan.

Lemah! Katanya.

Lantas?

Kelemahanmu dijadikan alasan untuk menindas.

Kelemahanmu dijadikan alasan untuk memperbudak.

Perihal masa depan baik lagi mapan.

Apa peduli mereka?

Suaramu hanya suara suara minor yang singgah di daun telinganya.

Sekali lagi, apa peduli mereka!

Perangaimu terlalu lemah untuk disebut kuat.

Rindumu adalah hampar yang hambar dan rentan lupa.

Melekat menjadi bekas bekas yang tak lekas sembuh.

Puan.

Tak butuh disetarakan tapi untuk dimuliakan!.

Sebab Kau Perempuan

(Oleh: Nur Halisa Husain)

Kuatlah, sebab kau perempuan

Tidak hanya dibentuk oleh paras yang cantik.

Tidak hanya dieja oleh huruf yang sekadar diketik.

Tidak hanya dibesarkan oleh kehidupan yang merentik.

Tegaklah, sebab kau perempuan.

Tidak bisa dipinta di ruang publik.

Tidak bisa diakui oleh segala milik.

Tidak bisa ditepis dalam segala hal pelik.

Banggalah, sebab kau perempuan.

Tidak cukup rayu untuk ditata.

Tidak cukup harta untuk diperintah.

Tidak cukup tunduk hanya dengan kata kata.

Kau tidak perlu berusik dan tidak usah berisik.

Sebab sekadar berbisik, kau bisa ditelisik.

Kau dan segala tentangmu tidak butuh diumbar.

Sebab terlalu sering terpapar lama lama akan hambar.

Kau hanya perlu menunggu kepastian kabar.

Sebab bila kesungguhan sejati hanya ada di jiwa yang sabar.

Kau akan tetap mengudara dalam segenap doanya yang wajar.

Perempuan Tak Pernah Salah?

(Oleh: Musfirah Rahman)

Mencari salah perempuan tidak mudah

Didiami salah

Bicara pun salah

Lantas kapan perempuan mengaku salah?

Sementara ia bungkam tak mau mengalah

Menatap tajam menjajah si payah

Apalah lagi bila disusul sendu gelisah

Pada akhirnya kamu tak butuh ia mengaku salah

Biarkan ia marah

Bukankah marah tanda peduli kala resah?

Meski sama berisiknya dengan mesin pencacah

Biar pula air matanya tumpah

Cukup kuatkan pundak tempatnya rebah

Meski isaknya membekas dilengan bajumu yang basah

Hei, sebenarnya dalam marah ia menoleh saat meninggalkan

Dalam tangis ia mengintip menanti permohonan

Karena dibanding dunia dan seisinya

Harga dirinya paling utama.