Monkey Business: Praktik Tidak Etis dan Bagaimana Islam Memandang Ini


        Apa yang terlintas dalam pikiran Anda ketika mendengar kata monkey business? Secara harfiah, ini bisa diartikan sebagai "bisnis monyet" tetapi apakah yang sebenarnya dimaksudkan dengan istilah ini?

Apa itu Monkey Business? 

        Dalam konteks bisnis, istilah monkey business merujuk pada strategi bisnis yang bertujuan untuk meraih keuntungan pribadi dengan menghindari tanggung jawab seperti "lari" atau "kabur" ketika menghadapi konsekuensi. Penggunaan istilah monkey business ini didasarkan pada analogi tingkah laku seekor monyet. Secara umum, hewan ini cenderung pergi atau kabur setelah mereka berhasil mendapatkan makanan atau keuntungan.

        Monkey business tergolong bisnis kotor yang bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan dengan cara menipu dan merugikan orang lain. Ini sebagian besar dipahami sebagai strategi bisnis yang tidak etis, meskipun tetap populer di Indonesia. Terlebih lagi, pelaku bisnis monyet tidak selalu individu, bisa juga terdiri dari kelompok, lebih dari dua orang atau bahkan komunitas. Praktik semacam ini dianggap melanggar etika bisnis, dan dampaknya bisa merugikan banyak pihak, terutama para konsumen yang terperangkap dalam praktik ini.

Bagaimana Mekanisme di Balik Monkey Business?

        Salah satu ciri khas praktik monkey business adalah ketergantungan pada produk atau komoditas yang tidak dapat dipertahankan atau ditemukan sepanjang waktu. Pada dasarnya, monkey business berfokus pada eksploitasi tren, yang berarti produk yang menjadi pusat bisnis ini seringkali bersifat musiman.

        Praktik monkey business dimulai dengan identifikasi tren atau komoditas yang sedang populer di pasar. Para pelaku bisnis kemudian memutuskan untuk memanfaatkan tren ini dengan cara yang tidak etis. Pertama, mereka mungkin mulai menimbun komoditas tertentu, yaitu membeli sejumlah besar barang tersebut dengan tujuan untuk mengendalikan pasokan. Hal ini menciptakan kesan kelangkaan dan bisa mendorong harga naik.

        Selanjutnya, pelaku bisnis akan berusaha meyakinkan orang lain untuk ikut berinvestasi dalam komoditas tersebut. Mereka sering memberikan janji keuntungan besar dalam waktu singkat, menarik calon investor dengan harapan mendapatkan hasil cepat. Namun, sebenarnya, harga komoditas ini sering kali dijaga oleh para pelaku dengan cara manipulatif, menciptakan ilusi permintaan yang tinggi.

        Setelah berhasil menarik investor atau pembeli, pelaku bisnis akan menjual komoditas tersebut dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada yang mereka bayarkan. Setelah mendapatkan keuntungan yang diinginkan, mereka sering kali menghilang atau mengubah fokus bisnis mereka. Ini meninggalkan konsumen atau investor dengan kerugian finansial dan perasaan tertipu.

        Salah satu contoh bisnis yang dapat dianggap sebagai monkey business adalah penjualan tanaman hias janda bolong, atau dengan nama Latin Monstera Adansonii Variegata.  Pada 2020 lalu, tanaman janda bolong ini sempat viral di kalangan masyarakat. Tanaman ini menarik perhatian karena daunnya yang berlubang, memberikan tampilan yang unik. Ketika tanaman ini menjadi viral, harganya melambung tinggi, bahkan mencapai Rp90 juta untuk beberapa varian, seperti Monstera Obliqua yang bisa mencapai Rp120 juta. Banyak orang terjun ke dalam bisnis ini karena ketertarikan atau investasi. Namun, sayangnya, karena tren ini bersifat musiman, investasi di dalamnya memiliki risiko yang tinggi. Akibatnya, orang yang telah menginvestasikan sejumlah besar uang dengan harapan mendapatkan keuntungan besar bisa mengalami kerugian saat harga turun dan pelaku tidak dapat ditemukan lagi.

Pandangan Islam Terhadap Monkey Business

        Pandangan Islam terhadap praktik monkey business menekankan pentingnya moralitas dalam bisnis yang patuh pada aturan muamalah syariah. Dalam konteks ekonomi Islam, tindakan yang tidak adil yang mengakibatkan kenaikan harga dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ketika penjual dan pembeli mencapai kesepakatan harga, harganya harus didasarkan pada kemampuan penjual menyediakan produk dan kemampuan pembeli menerima harga tersebut. Namun, jika harga meningkat secara tidak wajar karena manipulasi pedagang, tindakan semacam itu dianggap sebagai ketidakadilan yang merugikan masyarakat.

        Pada pandangan awal, bisnis semacam ini mungkin tampak halal karena objeknya adalah barang halal dan tidak ada unsur haram seperti riba, masir, atau gharor. Namun, karena prakteknya dapat merugikan masyarakat dalam jangka panjang, hal ini menyebabkan ketergantungan masyarakat pada pihak yang menjalankan praktik bisnis ini, yang merugikan orang lain, meskipun barang yang dijual halal. Secara garis besar, ada dua aspek dalam praktik monkey business yang melanggar etika bisnis Islam:

    1. Ikhtikar

        Ikhtikar adalah praktik menimbun atau mengumpulkan barang dengan tujuan mengendalikan pasokan dan harga barang di pasar. Dalam mekanisme monkey business, pelaku bisnis seringkali mulai dengan melakukan ikhtikar. Mereka menimbun atau mengumpulkan barang atau komoditas tertentu dengan tujuan untuk menciptakan kesan kelangkaan dan mengendalikan pasokan. Hal ini merupakan langkah awal untuk memicu kenaikan harga dan menciptakan permintaan yang tinggi.

    2. Tadlis

        Tadlis berkaitan dengan tindakan menipu atau menyesatkan dalam perdagangan. Dalam praktik monkey business, pelaku mungkin menggunakan berbagai taktik penipuan atau manipulasi untuk memengaruhi harga dan permintaan barang. Mereka mungkin memberikan janji keuntungan besar kepada calon investor atau pembeli tanpa mengungkapkan secara jelas risiko yang terlibat atau dampak jangka panjangnya. Tadlis ini bertujuan untuk menarik orang untuk berpartisipasi dalam praktik tersebut tanpa memahami sepenuhnya konsekuensinya.

        Kedua aspek ini mencerminkan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip etika bisnis Islam, yang menekankan keadilan, kejujuran, dan transparansi dalam perdagangan.

        Sebagai seorang muslim, sebelum terlibat dalam investasi atau pembelian apapun, disarankan untuk melakukan riset yang menyeluruh dan memahami produk atau tren yang sedang beredar. Pertimbangkan prinsip-prinsip etika bisnis Islam, seperti keadilan, transparansi dan kejujuran. Dengan demikian, sebagai konsumen dapat menjaga diri dari terjerumus ke dalam praktik bisnis yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.

        Semoga artikel ini membantu kita untuk tetap waspada dan bijak dalam kegiatan muamalah.



Penulis: Ainun Fadhillah

Posting Komentar

0 Komentar