"Harga Diri Seharga Nyawa Dalam Tradisi Suku Bugis" By Rahmat Hidayat

 

    Suku bugis dan Makassar merupakan suku yang berada di pulau Sulawesi yang mendominasi populasi penduduk di Sulawesi selatan. Suku bugis Makassar sendiri memiliki beragam adat maupun tradisi yang berlaku. Salah satu adat orang bugis yaitu sangat menjunjung tinggi harga diri dan rasa malu (siri’ napacce), orang bugis rela menjadikan nyawanya sebagai taruhan untuk menutupi rasa malu, harga diri, maupun dalam menyelesaikan masalah, maka dari itu ada tradisi suku bugis agar dapat menyelesaikan masalah yang menjatuhkan harkat dan martabat diri maupun keluarga yaitu sigajang laleng lipa atau sitobo laleng lipa (Tarung Sarung).

    Sigajang laleng lipa (tarung sarung) adalah salah satu budaya yang ada di Sulawesi selatan. Tradisi ini berarti saling tikam menggunakan badik dalam satu sarung. Tradisi ini tidak ditahu pasti kapan muncul akan tetapi melihat dari pendapat dari sejarahwan bahwa tradisi ini sudah ada sejak zaman kerajaan karena yang menjadi penengah atau semacam wasit pada tradisi ini yaitu seorang bissu (pendeta) sekaligus memberikan semacam doa atau mantra kepada seorang yang akan bertarung nantinya, sedangkan bissu ini sudah ada sejak zamn kerajaan dan di dakalangan para bangsawan. Tentunya dalam tradisi ini tidak dilakukan begitu saja tanpa alasan dan sebab didalamnya. Tradisi ini dilakukan untuk menyelasaikan masalah yang tidak ada jalan keluarnya sehingga disepakatilah tradisi sigajang laleng lipa(tarung sarung). Bagi orang bugis pantang pulang sebelum badik menerkam, mereka menganggap bahwa apabila ada janji yang sudah di ucapkan dan ada kesepakatan yang sudah di tetapkan maka tidak patut untuk di tarik lagi. Jika mereka memilih untuk mundur maka mereka akan dijauhi oleh masyarakat disekitarnya dan diasingkan. Budaya Siri’ sangat di agungkan oleh masyarakat bugis sehingga orang yang tidak memiliki siri’ dianggap hanya seekor binatang.

    Meski begitu, Sigajang Laleng Lipa (tarung sarung) sendiri tidak bisa dilangsungkan tiap bertikai lalu kemudian memilih berduel. Bukan begitu cara mainnya. Untuk menuju ke tradisi saling tikam, sekiranya ada tiga cara penyelesaian masalah yang lazimnya disebut sebagai "Tellu Cappa" atau tiga ujung. “Pertama, 'Cappa Lila' (ujung lidah). Cara pertama ini ditempuh untuk menyelesaikan masalah dengan perundingan, negosiasi atau musyawarah. Kedua, 'Cappa Laso' (ujung penis/kemaluan) setelah melalukan penyelesaiaan masalah dengan menempuh ujung yang pertama gagal, maka ditempuh cara menggunakan opsi kedua. Karena bagi masyarakat Bugis, anak perempuan yang masih perawan adalah permata yang sangat mahal harganya maka jalan pintasnya yaitu menikahkan atau melakukan semacam percanjian yang beragam sesuai kesepakatan kedua belah pihak, kalau kesepakan itu kemudian tidak disepakati lagi maka ada ujung yang ketiga menunggu yaitu, Ketiga,’Cappa’ kawali (ujung badik), di sinilah penentuan harga diri dari seseorang atau keluarga yaitu ujung badik yang menjadi penanda sudah tidak ada lagi jalan negosiasi dan perdamaiaan di antara kedua belah pihak.

    Runtutan terjadinya Sigajang Laleng Lipa(tarung sarung) juga telah dijelaskan sebagaimana setiap permasalahan akan berusaha diselesaikan dengan melakukan musyawarah, demi mencari titik tengah di antara keduanya. Namun jika memang gagal dalam mencapai mufakat, maka tergantung dari kesepakatan yang terjadi. Apakah pilihannya melakukan Sigajang Laleng Lipa (tarung sarung) atau tidak. Kemudian jika memang disepakati keduanya akan membicarakan hal ini kepada kepala adat setempat, lalu nantinya kepala adat akan menentukan kapan hari yang baik dalam melakukan Sigajang Laleng Lipa(tarung sarung). Nantinya sebelum hari dimana keduanya bertarung dalam satu sarung yang sama, mereka diharuskan melakukan puasa, guna sebagai bentuk upaya meminta izin terhadap nenek moyang agar Sigajang Laleng Lipa (tarung sarung) berjalan dengan lancar, ada pula yang tidak melakukan hubungan badan dengan lawan jenisnya selama 40 hari atau bahkan tidak melihat wanita dalam jangka waktu selama 40 hari sebagai bentuk penyucian diri sebelum melakukan tradisi tarung sarung. Tarung sarung sendiri hanya diperuntukka kepada laki-laki karena laki-laki du suku bugis itu sebagai simbol keberanian dan sosok kesatria. Memasuki hari H pelaksanaan, ketua adat setempat akan menentukan tempat yang jauh dari tempat tinggal warga. Hal ini dianggap tidak pantas untuk dipertontonkan, karena permasalahan yang terjadi hanya menyangkut kedua belah pihak, dan bukan menyangkut orang lain. Keduanya akan bertarung dalam satu sarung yang sama, dengan dipersenjatai Badik oleh ketua adat. Nantinya hasil dari tradisi ini akan ditentukan jika salah satu atau keduanya menyerah, dan bila salah satu ada yang meninggal atau keduanya meninggal.

    Dari sinilah kita paham betapa tingginya dan terhormatnya siri’ yang ada didalam masyarakat orang bugis, sarung tarung bukan hanya ajang untuk menunjukkan kemahiran atau kesaktian akan tetapi sigajang laleng lipa memiliki filosofi yang sangat mendalam mengenai sir’ na pacce orang Bugis Makassar. Akan tetapi seiring berjalannya waktu tradisi ini sudah tidak ada lagi sebab sudah ada aturan perundang-undangan yang dapat menyelesaikan masalah, akan tetapi budaya siri’ di kalangan masyarakat Bugis Makassar masih sangat kental dan masih turun temurun di jaga oleh masyarakat Bugis Makassar.


Referensi:

    Kasma F. Amin. (2021) Pengungkapan Budaya Bugis Kuno Dalam Hikayat Bugis Vol:8,Hal : 1754-1762

    Arisandi, Herman. (2014). Buku Pinter Pemikiran Tokoh-Tokoh Sosiologi Modern Dari Klasik Sampai Modern. (Jakarta: IRCiSoD)

Penulis:

Rahmat hidayat

Email: alhidayatrhmi797@gmail.com


Posting Komentar

0 Komentar