Pusaran Pertikaian: Memecahkan Konflik Warisan pada Keluarga Dalam Konsep Fiqh Muamalah By Tim FGD Warisan

 JDIH Kabupaten Sukoharjo

        Dalam Islam, warisan merupakan salah satu aspek penting yang mengatur pembagian harta peninggalan seorang muslim kepada ahli warisnya. Hukum waris Islam memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam kehidupan sosial masyarakat, karena menyangkut hak-hak individu dan hubungan sosial antar anggota keluarga. Prinsip keadilan, persaudaraan, dan keharmonisan menjadi landasan utama dalam pengaturan pembagian harta warisan. Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad SAW telah memberikan petunjuk yang jelas mengenai hukum waris, sehingga menjadi acuan bagi umat Islam dalam menyelesaikan masalah warisan. 

            Sengketa warisan kembali menjadi sorotan publik. Di Yogyakarta, hubungan antara seorang ibu dan keempat anaknya memburuk hingga berujung pada persidangan. Sementara itu, di Padang, sebuah eksekusi tanah warisan berujung ricuh akibat ketidaksepakatan di antara anggota keluarga. Kedua kasus ini menunjukkan betapa rumitnya permasalahan warisan, terutama ketika melibatkan hubungan emosional dan kepentingan materi yang saling bertentangan.

        Penyelesaian yang harus diupayakan terlebih dahulu dalam menyelesaikan sengketa utamanya sengketa waris adalah penyelesaian secara non-litigasi, yaitu penyelesaian sengketa waris dengan cara berkumpul dan menyelesaikan sendiri sengketa pembagian harta waris melalui musyawarah mufakat, yang terdiri dari penyelesaian sengketa melalui negosiasi (musyawarah), mediasi, arbitrase, dan konsiliasi. Mediasi merupakan salah satu cara yang dilakukan ahli waris yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa pembagian harta waris dengan menghadirkan pihak ketiga sebagai mediator. 

            Penyelesaian sengketa waris melalui non-litigasi dalam konsep fiqh muamalah juga dikenal dengan istilah Sulh/Islah – As Sulh/Suluh. Sama dengan mediasi, yaitu dalam Hukum Islam sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa antara dua belah pihak dengan difasilitasi oleh pihak ketiga yang bersifat netral, dimana pihak tersebut tidak memutus melainkan hanya sebagai pengantar perdamaian mereka. Sulh dilakukan bagi mereka yang sebelumnya telah melakukan akad atau persetujuan Bersama yang dilakukan diluar pengadilan.

        Dari Amr bin ‘Auf al-Muzanni; Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Perdamaian itu diperbolehkan antara sesama muslim, kecuali perdamaian yang mengharamkan perkara halal atau menghalalkan perkara yang haram. Orang muslim selalu diikutkan persyaratannya, kecuali persyaratan yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang haram.” (HR. at-Tirmizi)

            Hadist diatas secara jelas menerangkan tentang keharusan sulh yang berdasarkan pada batas-batas ketentuan syara’.

Dalam QS. Al-Hujurat : 9 yang artinya:

“Dan kalau ada dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi jika yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”

            Ayat diatas juga memerintah untuk mendamaikan dua kelompok yang sedang bertikai, sejalan dengan konsep As-Sulh itu sendiri.

            Tujuan utama dalam memahami dan menerapkan prinsip-prinsip fiqh muamalah dalam konteks konflik warisan seperti kasus di atas adalah untuk menciptakan suatu sistem penyelesaian sengketa yang tidak hanya adil dan sesuai dengan syariat Islam, tetapi juga efektif dalam menjaga keharmonisan sosial, meminimalisir potensi konflik berkelanjutan, serta memberikan kepastian hukum bagi seluruh pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, diharapkan dapat terwujud suatu masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan damai, di mana setiap individu merasa dilindungi hak-haknya dan mendapatkan keadilan yang sejati.

           Kedua kasus yang disajikan menunjukkan adanya sengketa warisan yang berujung pada proses hukum. Kasus pertama di Yogyakarta melibatkan seorang ibu yang menggugat keempat anaknya terkait pembagian warisan, sementara kasus kedua di Padang terjadi bentrokan saat proses eksekusi tanah warisan. Kedua kasus tersebut memiliki akar masalah yang sama yaitu adanya perselisihan mengenai pembagian harta warisan setelah sang pewaris meninggal dunia. Perselisihan ini kemudian berescalasi hingga ke ranah hukum, menunjukkan betapa kompleksnya masalah warisan dan betapa pentingnya penyelesaian yang adil dan sesuai dengan aturan yang berlaku, baik hukum negara maupun hukum agama.

            Kedua kasus sengketa warisan di Yogyakarta dan Padang juga menyoroti pentingnya pemahaman mendalam terhadap hukum waris Islam serta penerapan prinsip-prinsip keadilan dan musyawarah dalam penyelesaiannya. Kurangnya pemahaman terhadap hukum waris seringkali menjadi pemicu konflik, sementara ketidakmampuan untuk mencapai kesepakatan melalui musyawarah dapat memperpanjang proses penyelesaian. Kasus-kasus ini juga menggarisbawahi pentingnya peran lembaga agama dan hukum dalam memberikan solusi yang adil dan mengakomodasi kepentingan semua pihak. Dengan demikian, diperlukan upaya bersama untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat mengenai warisan, serta penyempurnaan sistem hukum yang ada agar lebih responsif terhadap dinamika sosial dan kebutuhan masyarakat.

        Imam Syafi'i sangat menekankan pentingnya keadilan, musyawarah, dan persaudaraan dalam penyelesaian masalah warisan. Beliau mengajarkan bahwa harta warisan harus dibagi sesuai dengan ketentuan syariat Islam dan dengan cara yang tidak menimbulkan perselisihan. Kasus ini menyoroti betapa pentingnya komunikasi yang terbuka dan jujur dalam keluarga, terutama terkait masalah harta warisan. Kurangnya komunikasi yang efektif dapat memicu kesalahpahaman dan perselisihan, dan dari kasus ini juga kita dapat mengetahui pentingnya memiliki dokumen kepemilikan tanah yang sah dan lengkap. Dokumen yang jelas dapat meminimalisir potensi konflik dan sengketa di kemudian hari. Sengketa warisan tidak hanya berdampak pada hubungan keluarga, tetapi juga dapat menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang luas, seperti bentrok fisik dan kerugian materil. Di Yogyakarta dan padang sendiri, dengan kekayaan budaya dan nilai-nilai adat yang kuat, seringkali hukum adat dan agama menjadi acuan dalam pembagian warisan. Namun, jika tidak dikomunikasikan dengan baik dan dipahami oleh semua pihak, hal ini justru dapat menjadi sumber perselisihan.

            Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu memperhatikan nilai-nilai dan prinsip keagamaan dalam menjalankan sesuatu, termasuk menyelesaikan permasalahan warisan. Seperti dalam konteks asas keadilan berimbang, Setiap ahli waris berhak mendapatkan bagian yang adil sesuai dengan ketentuan agama dan tentunya hak yang diperoleh sama besarnya dengan kewajiban yang harus ditanggung. Jadi pihak yang memperoleh bagian besar dari warisan tidak serta merta hanya menerima tetapi juga memiliki kewajiban yang besar untuk dipertanggung jawabkan. 

            Kasus kasus diatas memberikan Pelajaran berharga tentang pentingnya pemahaman yang baik terhadap masalah warisan, masyarakat yang kurang memahami hukum waris dapat mengakibatkan mudah terjadinya kesalahpahaman dan konflik. Di Indonesia masyarakat terdiri dari berbagai suku dan agama. Hal ini menuntut adanya pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai sistem hukum waris yang berlaku, termasuk hukum adat. Menurut pendapat kelompok kami sendiri, baik Islam maupun agam lain menekankan pentingnya keadilan dalam pembagian warisan. Namun, dalam penerapannya sering terjadi ketidaksetujuan mengenai apa yang dianggap adil dalam agama.adapun inti dari permasalahan diatas adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum waris. Oleh karena itu, masyarakat perlu diberikan edukasi tentang hal ini, sehingga dapat memahami hak dan kewajiban mereka.

            Konflik warisan tidak hanya berdampak pada hubungan keluarga, tetapi juga memiliki implikasi hukum dan sosial yang luas. Proses hukum yang panjang dan melelahkan dapat menguras waktu, tenaga, dan biaya bagi semua pihak yang terlibat. Selain itu, konflik warisan juga dapat mengganggu ketertiban umum dan merusak citra keluarga di mata masyarakat. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan berbagai upaya preventif dan solusi yang komprehensif. Salah satu langkah penting adalah meningkatkan kesadaran hukum masyarakat mengenai masalah warisan. Melalui edukasi yang intensif, masyarakat dapat memahami hak dan kewajiban mereka sebagai ahli waris, serta pentingnya membuat wasiat yang jelas dan terperinci. Selain itu, perlu adanya upaya untuk mempermudah dan mempercepat proses penyelesaian sengketa warisan melalui jalur non-litigasi, seperti mediasi atau arbitrase. Dengan demikian, diharapkan konflik warisan dapat diselesaikan secara damai dan tanpa menimbulkan kerugian yang lebih besar.

Penulis: Andi Dyan Kirana Lukita, Fatmawati Nur Fadilah,
Email : ldyankirana@gmail.com, fwati9144@gmail.com, nurrfadiilaahh@gmail.com 

Posting Komentar

0 Komentar