Disudut dan Tak diharapkan
Tidak pernah terbayangkan jika hari-hari yang kujalani harus dilalui seperti ini. Timbul keraguan pada diri sendiri akibat dari lingkungan yang hanya menganggap kehadiranku ada jika memiliki apa yang mereka sukai, selebihnya kamu mungkin akan mengerti jika tak ada rasa timbal balik dalam suatu hubungan namun yang ada cuman pemanfaatan belaka. Tekanan batin yang menyiksa tak memberikan ruang bagiku untuk bahagia. Permasalahan mental silih berganti datang dari keluarga, sekolah, hingga ke lingkungan sekitarku. Hidup yang bercukupan belum tentu membuatku senang. Entah bagaimana caraku menghadapi hidup yang penuh dengan penderitaan.
Matahari menampakkan sebagian sinarnya dari ufuk timur sebagai pertanda hari baruku telah dimulai. Kenalkan aku Anggi, seorang siswi SMA 1 Jakarta dengan penampilan sederhana. Saat ini aku sedang berada dimasa-masa akan menghadapi tekanan sebelum kelulusan. Setiap orang memiliki kesibukannya masing-masing seperti aku yang sibuk belajar untuk persiapan ujian dan mengurus rumah. Ya, pekerjaan di rumah hanya aku yang urus karena orang tua serta kakakku jarang memiliki waktu dan sibuk terhadap pekerjaannya. Entah mengapa semakin beranjak dewasa komunikasi dengan keluargaku sendiri semakin renggang. Jarang menghabiskan waktu bersama karena kesibukan masing-masing menjadi salah satu penyebabnya. Bukan hanya sampai di situ, entah mengapa keluargaku lebih menekan dan sering marah kepadaku, tanpa mengetahui alasan yang jelas dari semua tindakan mereka. Komunikasi yang kurang membuatku takut berlebih untuk meminta sesuatu kepada mereka, jangankan meminta memulai pembicaraan saja susahnya setengah mati.
Saat keluar dari kamar, terdengar suara percakapan
kakak dan orang tuaku di meja makan. Sebenarnya aku ingin bergabung dengan
mereka saat sarapan pagi, tetapi mengingat sudah lama sekali tidak makan
bersama jadi perasaan canggung terus timbul. Alasan mengapa aku jarang makan
bersama dengan mereka karena suatu hari...
“Kondisi sedang bersama di meja makan...”
“Bu, masa si Anggi ketipu sama orang yang mengaku
tukang sampah kompleks rumah...” ujar kakak saat sebelumnya aku memberi tahu
hal tersebut.
“Astaga, kok bisa... Enggak becus banget sih kamu,
masa tukang sampah saja kamu nggak kenal yang mana, kamu taruh otak kamu
dimana, hah?
“Maaf bu, tadi sempat Anggi mau konfirmasi dulu ke
orang rumah, tapi kata tukang sampahnya udah diberitahu dan sisa bayar, jadi
aku ambil uang di lemari dapur yang sebelumnya untuk belanja hari..”
“Ehh, anak bodoh kamu pikir gampang cari uang? Sudah
disekolahin malah jadi beban. Kamu tuh enak sekolah aja dan dikasi fasilitas,
jadi kalo sudah gitu MIKIR jangan jadi BEBAN” ujar ayah yang menyela
pembicaraan
Terasa tidak? Padahal makanan di atas piring belum
habis tapi kenapa perasaanku tiba-tiba merasa kenyang, seakan-akan sarapan yang
kudapatkan pagi ini adalah luapan emosi dari keluargaku. Kaki dingin dan lemas,
merasa mengecil di meja makan. Aku tahu perbuatanku salah tetapi apakah uang
yang kuhilangkan bisa membayar rasa sakitku?
Kembali ke kondisi saat ini, melihat mereka telah
selesai, makan masuklah aku sembari membereskan piring, akupun memberanikan
diri untuk bertanya.
“bu, kebetulan hari ini aku libur karena pekan tenang
sebelum ujian boleh tidak, Anggi pergi ke rumah teman”.
Tiba-tiba ayah melirik tajam dan berkata “ngapain?
Mending kamu belajar sana, kan pekan tenang? Gimana sih”
lalu ibu berkata “hmm. Boleh tapi jangan lama pulang,
pekerjaan kamu di rumah juga banyak”. Karena diizinkan oleh ibu, aku mengikut
dengan perkataannya untuk pergi ke rumah salah satu temanku. Ayah memang lebih
sedikit keras, tetapi ibu masih memberikan sedikit apa yang kuinginkan walaupun
ia juga sering membuatku kecewa.
Setelah mereka berangkat dan pekerjaanku juga telah
selesai, aku segera bersiap-siap berangkat karena temanku yang bernama Bima
datang menjemput ke rumah. 10 menit kemudian ia pun datang dan memanggil
“Assalamu’alaikum, Anggi!”
“Wa’alaikumsalam, tunggu ya Bim, aku pakai sepatu dulu”.
Setelah siap, kami pun berangkat ke rumah temanku yang
bernama Kevin. Di perjalanan Bima bertanya
“eh, kamu sudah belajar apa untuk persiapan ujian
nanti”.
“aku belum belajar semuanya sih, cuman beberapa
pelajaran” sautku.
“Anggi, bensinku mau habis, beliin yah”
“hm, iya”
Bima merupakan murid pindahan yang menjadi teman sekelasku,
ia baik dan suka memberi perhatian, entah kenapa alasannya tapi mungkin karena empatinya
yang tinggi sehingga menimbulkan rasa kasihan. Dikelas memang aku murid yang
suka menyendiri dan jarang diajak bicara, sekalinya diajak hanya perkara mau
lihat tugas dan minta contekan. Jadi serasa yang diajak itu isi kepalaku bukan
orangnya, tapi hal itu sudah biasa. Sekarang saja aku baru mau keluar rumah
karena diajak Bima. Kalo tidak, aku juga gak bakalan pergi ke rumah kevin.
Setelah banyak berbincang dengan Bima sampailah kita di
rumah Kevin. Dia salah satu teman kelasku juga tapi tidak terlalu akrab. Alasanku
ke rumah dia karena cuma mau ikut Bima untuk melepas beban. Ternyata di rumah Kevin
ada Clara juga, perempuan cantik tapi isi otaknya nol besar. Teman kelasku yang
satu ini mengandalkan penampilannya untuk mendapatkan keuntungan sosial, kamu
pasti juga tahu kalo yang cantik akan lebih mendapatkan perhatian Dibanding
yang tidak memanjakan mata. Tanpa basa-basi dia langsung bilang...
“eh, tumben lu keluar rumah nggi. Biasanyakan lu dirumah
terus”
“haha iya nih, aku juga diajak bima”
Karena diajak bima, membuat Kevin juga tidak tahu kalo
aku ikut datang.
“oh, ternyata ada Anggi, sini masuk”
Masuklah aku dan Bima, ke dalam rumahnya Kevin.
“Kebetulan nih ada Anggi daripada bersenang-senang
mending kita belajar bersama aja”
Kalo dari aku, mau datang bersenang-senang atau mau
datang belajar itu tidak menjadi masalah karena pikirku kegiatannya juga
bermanfaat ke diri sendiri, jadi aku iyakanlah pendapat dari kevin.
“baiklah, aku juga senang kalo memang mau belajar”
Maka belajarlah kita, hingga ke 10 menit ke depan
dimana semua teman-temanku fokusnya terbagi. Si Clara sibuk scrolling sosial
media. Kevin dan Bima asik main Game. Hanya aku yang belajar dan memegang buku,
karena juga tidak ada kegiatan lain yang kepikiran olehku selain belajar saat
itu. Tiba-tiba Clara nyaut...
“rajin banget Anggi. Eh, kalo nanti ujian gue duduk
dibelakang lu ya. Bagi jawaban bisalah kan lu pintar”
“kayaknya tidak bisa Clara, kan ini ujian masa
jawabannya mau dibagi lalu posisi duduk juga diacak dari pihak sekolah”
“dih, pelit amat si anggi mentang-mentang pintar
juga”. Celetuk Kevin.
“iya ih, najis percuma pintar tapi hanya untuk diri
sendiri” ujar Clara dengan ketololannya.
Aku tidak tahu harus ngomong apalagi, tapi yang
kukatakan memang benar. Cape loh belajar tapi teman-temanku yang tidak memiliki
usaha dapat nilai tinggi dari hasil nyontek. Setelah hal itu terjadi rasa
pengen pulang dari rumah kevin menggebu-gebu. Tidak tahan dengan kelakuan Kevin
dan Clara yang melihatku secara sinis karena penolakan yang kulakukan. Padahal
kalo mereka bertanya mengenai pelajaran yang tidak dimengerti aku pasti bisa jelasin.
Akhirnya saat yang kunanti telah tiba, aku sama Bima
pulang dari rumah Kevin. Saat di jalan Bima berkata
“kamu jangan pikirin omongan Kevin dan Clara, setelan mulut
mereka memang begitu haha”
“haha, iya aku nggak pikirin sih, yang berlalu biarlah
dibawa angin”
Bima memang bukan murid dengan nilai akademis yang
sempurna, tetapi dia siswa yang baik dan mudah diajak bicara.
Setelah perjalanan dari Kevin, pada sore hari sesampainya
di rumah dimana kebetulan keluargaku juga belum datang, sehingga aku memiliki
waktu untuk memasak dan menyetrika pakaian yang telah dijemur tadi pagi. Tak
ada celah bagiku untuk merasa lelah karena waktu terus berjalan dan diriku yang
menunda akan ditinggalnya. Saat sedang menyetrika suara mobil tiba-tiba terdengar,
betul saja keluargaku telah pulang dari bekerja. Karena orang tua sama kakakku
berdekatan kantornya jadi mereka pergi dan pulang bersama.
“Anggi!, cepat kesini ambil barang belanjaan” teriak ibuku
“iya bu” sautku sambil berlari keluar rumah
Akupun mengambil semua kantong belanjaan dan
membawanya ke dapur untuk di taruh ke dalam kulkas, rak, dan lemari. Sembari
menyusun santai, aku juga membawa catatan kuning kecil yang berisi rangkuman
pelajaran. Jadi aktivitas menyusun barangku bisa dilakukan sambil belajar.
“hmm, kok bau gosong, kamu masak apa anggi?” kata
kakakku
“hah? Anggi nggak masak”, “eh, Astagfirullah!
Setrikaan astaga anggi lupa!”
“ih, anggi kok lu teledor sih, mampus baju ayah
gosong. Mana itu baju yang pernah di pakai ke kantor lagi”
“kak, gimana nih?”
“kok tanya aku, urus aja sendiri”
Perasaanku saat itu campur aduk, antara panik, takut,
dan merasa bersalah karena merusak salah satu baju ayahku yang biasa dipakainya
ke kantor. Sehingga aku mengambil tindakan nekat dengan menyembunyikan baju itu
di bawah kursi ruang tamu. Seakan-akan tidak terjadi apapun, dengan santainya
melanjutkan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Tapi bagaikan
menyembunyikan sampah, sedalam apapun disembunyikan bau busuknya akan tetap tercium
dan secepat itulah ayah dan ibu tersadar akan bau gosong dari pakaian yang
kusetrika walaupun mereka berada dikamar yang pintunya tertutup rapat. Ditambah
lalat pengganggu yang membocorkan hal itu kepada ayahku yakni sang kakak. Kalian
pasti tahu bagaimana keadaan jika hal tersebut menimpa kalian. Marah besar terjadi
dari ayah yang dilontarkan kepadaku ditambah sang kakak yang kompor dan menambah
kekesalan sang ayah.
“ANGGI, kamu bisa tidak melakukan hal dengan benar?”
“bi, bisa yah...”
“terus kenapa kamu suka berulah, hah!”
“dulu sudah di tipu, sekarang mulai merusak. Kamu
memang B-O BO, D-O DO, BODOH! Tahu?”
“aku nggak tahu harus berharap apa dari kamu” perkataan
ayah yang cukup menusuk bagiku.
Karena merasa capek dengan situasi sekarang, ibuku mengambil
pakaian gosong itu dan melemparnya ke mukaku.
“Ini Ambil, ke kamarmu sekarang. Jangan berani
munculkan batang hidungmu sebelum situasi mereda”
Lagi dan lagi kemalangan menimpaku. Masuklah aku ke kamar
dengan berlinang air mata untuk melepaskan semuanya. Menangis adalah jalan yang
tepat untuk meluapkan segalanya baik rasa kecewa, marah, sedih, dan setiap hal
yang berkaitan dengan batinku. Tidak habis pikir masalah yang kudapatkan hari
ini mulai dari rumah kevin hingga dirumahku sendiri. Tidak adakah tempat yang
bisa membuatku bisa sedikit bahagia dan dihargai?
***
Beberapa hari telah berlalu, masa liburan juga telah
usai dan hal yang dinanti telah didepan mata yakni ujian sekolah. Aku cukup
santai dan tidak terlalu gugup saat menghadapi ujian karena pikirku persiapan
yang dilakukan cukup matang dan baik. Saat sampai dikelas terlihat posisi
dudukku berada didepan pengawas, tidak tahu kenapa lega dengan hal itu karena posisi
duduk paling depan mempunyai keuntungan untukku. Pertama, pengawas itu tidak
fokus mengawasi siswa yang duduknya didepan, karena tahu sendiri siswa yang
duduk dibelakang pasti memiliki tujuan tersendiri. Kedua, aku mau menghindari
teman-teman yang datangnya saat butuhnya saja, dikarenakan sifatku yang tidak
enakan namun menjunjung nilai kejujuran sulit bagiku berada di ombang-ambing
pilihan ini. Pilih satu tetap saja merugikan bagiku, jadi untuk menjauhi mereka
pilihan yang tepat jika duduk paling depan.
Saat sedang duduk sambil melihat situasi teman-temanku
yang sibuk belajar tiba-tiba Clara datang menghampiri.
“Anggi, bantuin yaa, Aku belum belajar nih. Bantuin
yaa. Kan lu pintar...”
“maaf Clar, nggak bisa. Kan ini uji...”
PLAK...
Suatu pukulan mendarat di kepalaku. Sontak semua teman
kelasku kaget karena suaranya yang cukup besar. Tidak mengerti lagi isi kepala si
clara, dia yang memohon bantuan namun dia yang marah karena ditolak, Kok ada
orang seperti itu. Diriku hanya terdiam setelah hal itu terjadi, takut untuk melawan
karena clara adalah sosok yang paling disukai dalam kelas, serta circle
pertemanan dia yang luar biasa, apalah dayaku murid tak terlihat berusaha
melawan orang yang bikin pangling satu sekolah. Tanpa rasa bersalahnya dia
pergi dan sambil berkata...
“anggi, lu pelit amat, Sok alim banget.”
Setelah kejadian itu, tak ada satupun orang yang
datang menanyakan perasaanku. Mereka kembali dengan kegiatan belajarnya
masing-masing. Jika kalian menanyakan Bima dimana, aku tidak satu ruangan dengannya.
Sampai pengawas ujian datang, kepalaku terus menunduk karena perasaan malu dengan
kejadian tadi. Bisikan terdengar sampai ke telinga, clara yang menyebar sesuatu
hal buruk mengenai diriku. Tak tahan rasanya, ingin cepat ujian dimulai agar aku
bisa pulang. Begitulah gambaran perasaanku yang pahit sampai pengawas datang
untuk memulai ujian.
Setelah ujian usai, aku berada di depan gerbang
sekolah. Tiba-tiba Bima menghampiriku dengan motornya.
“Anggi, kamu sudah makan?”
“belum nih”. Jawabku
“Aku mau makan, yuk makan bareng”
Biasanya aku memang bawa bekal, tapi berhubung ini
ujian dan pulangnya cepat, jadi aku cari makan diluar saja. Kebetulan Bima juga
mau pergi makan ikutlah aku dengannya.
Sampailah kita ditempat makan, memesan, menunggu dan mulai
menghabiskan makanan. Selain itu kita
juga mengisi waktu dengan berbicara mengenai hasil ujian tadi. Namun ketidaksengajaan
terjadi, saat itu bima menumpahkan cuka di atas iphonenya sendiri namun cuka
itu tersenggol oleh tanganku.
“Astaga, Anggi hati-hati dong, iphoneku basah
gara-gara kamu”
“tapi bima, cukanya kamu yang tuang, walaupun kena
tanganku sedikit”
“kok lu ngeles, nggak mau akui kesalahan ya?”
Karena aku tidak mau terjadi pertengkaran, jadi akulah
yang memulai untuk meminta maaf
“Maaf bim, aku nggak sengaja”
“Anggi, lihat, Iphoneku sekarang rusak gara-gara kamu”
“maaf bima, aku nggak tahu kalo kejadiannya akan
seperti ini, aku akan ganti...”
“apa kamu bilang? Ganti? Mentang-mentang aku nggak
punya harta sebanyak yang lu punya. Kamu menghinaku ya? Aku nggak permasalahin
iphonenya nggi, tapi data yang ada didalamnya”
Bima langsung bergegas pergi dan melupakan makanan
yang ia habiskan tapi belum dibayarnya. Harga makanan dia lumayan mahal namun
walaupun seperti itu akupun membayar makanan dan segera pulang kerumah. Entah
mengapa hari-hariku begitu sulit untuk dijalani.
Keesokan harinya, aku berangkat kesekolah untuk
melaksanakan ujian hari kedua. Seperti biasa datang saat pagi, duduk di bangku
yang dingin, embun masih terlihat disekitaran jendela. Kubuka lembaran kertas catatan
kecil yang sering kubawa. Fokusku ke kertas tak teralihkan walaupun
berangsur-angsur teman-teman sekelasku datang. Ujian dimulai, semua soal
kujawab dengan sungguh-sungguh. Setiap makna dari pertanyaan kubaca dengan
teliti. Aku mengumpulkan kertasku dengan percaya diri dan keluar lebih awal.
Saat kuberjalan dekat pertigaan yang mengarah
kekantin, perpustakaan dan kelas yang berada diujung. Terlihat Bima dan Kevin
yang senang membicarakan sesuatu di pojok kelas tersebut. Aku gagal fokus
dengan hp Iphone Bima yang terlihat baik-baik saja padahal kemarin benda itu
rusak. Bodohnya aku karena penasaran dengan percakapan mereka, terdengarlah
sebuah fakta yang menyakitkan untukku.
“eh, kukira iphonemu dirusak oleh si budak Anggi,
Hahaha”
“Hahaha, ya enggaklah. Ini hp iphone bos, masa kena
tumpahan air saja rusak”
“lah, terus, lu bohongin anggi itu karena apa?”
“ya, kemarin itu Cuma alibi gue doang aja, kebetulan
aku nggak punya uang untuk makan, kan si anggi orang kaya, jadi punya teman
harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, lagian dia juga terlalu baik, mudah
dimanfaatinnya, Hahahah”
“hahaha, parah lu bim”
Tidak habis pikir ternyata Bima adalah orang yang Manipulatif
dan bodohnya aku tak pernah tersadar jika sering dimanfaatkannya. Hatiku merasa
sakit karena dikhianati. Dengan cepat aku pulang agar tak ada orang yang
menyadari kesedihanku.
Sampai dirumah, aku langsung tidur agar kesedihanku
lekas berkurang. Air mataku tak kunjung keluar, padahal akan lebih mudah untuk melepaskannya
dengan sebuah tangisan.
“Ayo, anggi berusahalah untuk tidur” ucapku dalam hati
yang masih terlarut dalam kesedihan yang mendalam.
Setelah berapa lama menutup mata, akhirnya aku
tertidur dengan pulas.
Setelah beberapa lama tertidur terbangunlah aku karena
suara hujan, baruku tersadar bahwa matahari telah terganti dengan sinar
rembulan. Kudengar ayah dan ibu yang sedang menonton tv diruang keluarga.
Lantas keluar aku dari kamar menuju dapur untuk memasak. Melihatku baru bangun
orang tuaku menyuruhku untuk membeli makanan diluar saja.
“Kamu mau kemana?” kata ayah
“aku mau ke dapur memasak yah”
“nggak usah, lama, kami sudah lapar, kamu pergi beli
makanan diluar saja”
“aku nggak tahu bawa mobil yah”
“nggak ada yang suruh kamu bawa mobil” ungkap ibu
“Tapi diluar hujan, aku boleh nggak pergi bareng kakak
saja belinya”
“itu kan ada motor ada mantelnya juga, kakakmu jangan
diganggu dia lagi kerja tugas”
“kenapa sih, ayah sepertinya memang membenciku, selalunya
aku yang nggak diperhatiin, selalunya aku yang nggak didengar pendapatan,
selalunya aku yang memang dibenci dikeluarga ini! Jika memang seperti itu
katakan alasannya...”
“asal kamu tahu, kamu itu tidak diharapin untuk lahir.
Semenjak mau lahir saja kamu itu sudah bikin susah, ibu kamu hampir meninggal
saat ngelahirin kamu. Saat itu dokter memberi dua pilihan untuk menyelamatkan kamu
atau ibu kamu, ya aku pilih ibu kamulah. Keduanya memang selamat tapi yang kamu
nggak tahu kenapa ibu kamu tidak punya anak lagi, karena rahim dia sudah
diangkat setelah melahirkan kamu!”
Saat itu air mataku tak terbendung setelah mengetahui bahwa
memang tak ada yang mengharapkan kehadiranku. Sulit menahan tangis di depan
mereka yang jelas-jelas meluapkan isi hatinya.
“hiks, jika memang kehadiranku tak diharapkan, kenapa?
Kenapa tidak MEMBUANGKU SAJA SAAT ITU”
“ini uangnya, kamu nggak usah terlalu dramatis, pergi
beli makanan cepat sana” ujar ibu yang menyela pembicaraan.
Dengan rasa kekesalan akupun pergi membeli makanan
dengan kondisi mantel yang kebesaran. Parahnya curah hujan bertambah deras saat
itu sehingga penglihatanku kabur, hanya cahaya motor serta air yang membanjiri helm
membantu dalam menyusuri jalan yang kurang kendaraan. Pikir saja, mana ada
orang ingin keluar saat hujan deras pada waktu malam. Nampak dari kejauhan
setitik cahaya yang menyinari. Jalan itu memang sepi jadi laju motorku lumayan cepat.
Sambil mengingat kejadian-kejadian yang telah lalu, mulai dari dibencinya aku
dengan teman kelasku, dimanfaatkannya aku dengan teman dekatku, tidak diharapkannya
Kehadiranku dalam keluargaku sendiri. sedih rasanya menjadi orang yang berada
disudut, sedih rasanya menjadi seseorang yang tak terlihat, sedih rasanya
menjadi orang yang tidak pernah diharapkan ada. Saat itulah aku menyadari
setitik cahaya tadi adalah mobil yang melaju kencang dan seketika.
“BRAK”
Mobil tersebut menabrakku hingga terlempar jauh.
Terasa sesaat bahwa badanku melayang diudara dan merasakan betapa ringannya
diriku yang memikul masalah begitu berat. Rasa sakit tidak bisa kujelaskan, cahaya
yang menyinari berangsur padam, kegelapan menyelimuti sehingga diriku terasa
dingin dibuatnya. Telah berakhir Anggi, ini telah berakhir.
Terbaring beralas jalan yang basah, terasa darah
mengalir di sekujur tubuhku. Suara berdenging begitu kencang ditambah derasnya
hujan membuatku tak bisa mendengar apa-apa. Badanku terasa remuk, tiba-tiba
melihat cahaya lagi. Nampaknya aku berada diruangan operasi. Dokter yang sibuk
serta panik melihat kondisiku. Aku hanya bisa pasrah saat itu.
Terbayang olehku melihat senyuman oleh orang yang kucintai.
Melihat senyum keluargaku yang menerimaku dan melihat teman-temanku yang akrab
denganku. Senang rasanya saat melihat hal itu walaupun hanya sebuah bayangan
semata. Terima kasih serta maaf yang mungkin bisa kuucapkan, jika memang
kehadiranku tak pernah diharapkan, biarlah aku berada disudut melihat kalian
semua bahagia. Seketika kembali lagi kumelihat cahaya yang redup, kayaknya ini
sebuah akhir bagiku dan masalahku.
Berbagai rintangan yang kuhadapi dalam hidup, namun
kesabaran menemaniku menjadi orang yang kuat dan selalu bertahan. Walaupun
masalah terus menyerangku tidak pernah menghentikanku untuk menjadi manusia
yang produktif dan bermanfaat bagi orang lain. Walaupun kebaikanku
disalahgunakan, tetapi jangan mengubah dirimu menjadi orang yang lebih buruk. Kekuranganku
adalah tidak belajar lebih awal untuk menolak, terlambat menyadari mengenai
sifat orang yang sebenarnya, tidak mencoba mengakrabkan diri dengan keluarga. Penting
untuk menceritakan hal yang memang kau tidak bisa pikul sendiri.
Penulis : Muh. Fajar Nur (Kader FORKEIS UIN Alauddin Makassar)
0 Komentar