SEDERET MIMPI DALAM KERTAS
Di malam yang penuh harapan dengan suara ketik yang senada, sembari menggerakkan jari dalam keinginan. di tempat yang tak lagi asing dengan suara tirisan kopi dan bau semerbak dari buah hitam inspirasi. Sepucuk harapan dengan jutaan mimpi yang terus membayangi seiring suara terus menggema dalam pikiran, “Kuingin mimpi itu“ Ucap hati manusia yang hanya ingin berdiskusi dengan angin. Sederet mimpi itupun telah aku tuliskan dalam secarik kertas yang maya, sembari berharap dan terus berdoa bahwa mimpi itu akan terwujud.
Aku Ahmadika, akrab disapa Dika. Lelaki biasa, lahir di keluarga yang tak lengkap dan mempunyai sederet mimpi. Bagiku hanya dengan menulis membuatku bisa berbicara, aku terbatas dalam berkomunikasi yang orang umum katakan seorang, “Bisu” dan juga menjadi alasan sampai sekarang aku hanya diam merenung.
Penyakit ini telah ada disaat umurku 12 tahun, saat itu kulihat kue keju di atas lemari sembari memanggil ibuku dengan harapan itu bisa kumiliki. “Ibuu, ibuu!”. Tapi tak kunjung datang dan ternyata kuingat ibuku telah tiada. Mataku mulai berkaca-kaca, air mata pun membahasi pipiku yang tiada henti memanggilnya dengan kasih sayang. “Ibuu”. Dan tanpa sadar suaraku telah hilang membuatku kaget sembari memanggil terus namanya dan menangis sejadi- jadinya.
Sejak saat itu, tiada lagi yang mengambil kue keju di atas lemari dan suara untuk menyebut ibu telah hilang. Ayahku yang telah kehilangan sesosok pendamping dalam kehidupannya kini beliau menampakkan kesedihannya dengan cara mengabaikanku, tapi tak apa masih ada mesin maya yang terus mendampingiku dalam hidup bisu ini.
***
Di tempat yang sama sembari menulis cerpen berjudul Angka dalam hidup suara alat komunikasi yang canggih di belakang seorang bisu ini terdengar. “Hidup yang tidak pernah dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan “. Ucap seorang yang tak asing bagiku beliau ialah Najwa Sihab seorang ahli politisi dan motivator yang sepatah katanya mengubah cara berpikirku.
Dalam pikiranku bertanya-tanya lantas bagaimana denganku yang hanya menulis di atas secarik kertas sembari berharap akan sederet impian, hatiku pun tergerak untuk mencoba sesuatu hal yang dapat mengubah hidupku agar apa yang diharapkan oleh seorang yang ingin berdiskusi dengan angin dapat terwujud.
Kututup buku mayaku, kusimpan di tas hitam lusuhku, kuberanjak pergi di tempat inspirasiku, kuambil sepatah kata itu sembari melangkah ke tujuan berpulangku. Seiring ke tempat tujuan berpulang langkahku menjadi semangat, senyum di wajahku kini kembal dan dalam akal pikirku.
“Tuhan inikah petunjukmu? “. Sesampainya di ruang kasihku, kutempel semua impian yang telah aku tulis di atas secarik kertas hingga membentuk sederet impian dan kupasang target yang aku harapkan dapat segera terwujud. Akupun terjatuh di tempat lembutku dengan gundukan hangat sembari berdoa. “ Tuhan akan kumulai hari yang seharusnya aku mulai sejak dahulu, kumohon lancarkanlah “.
***
Keesokan harinya mentari begitu bersinar hingga menyentuh ruang kasihku, semangat yang ada di malam itu masih tetap utuh di dalam benak mentariku, kupersiapkan semua yang dibutuhkan dan hariku pun kumulai dengan mendaftar beberapa perusahaan.
Tetapi seiring perjalanan semangatku tujuan ini mulai memudar karena penolakan akan keterbatasanku. Sungguh menyayat hati, walaupun aku terus mencoba kembali namun hasilnya tetap sama, tapi tak apa hari ini aku kecewa, kesempatan itu pasti akan ada dan aku akan terus berusaha.
Lelah telah membasahi pikiran dan semangatku akan penolakan atas keterbatasanku, akupun berjalan ketempat temuan pertama inspirasiku dan kembali melanjutkan kisah cerpenku yang belum terselesaikan malam itu. Di tengah istirahatku seorang lelaki berbaju hitam datang menghampiriku.
“ Boleh aku duduk disini?“ sembari melihatku dan akupun mengangguk.
“Namamu siapa?”. Akupun menulis namaku di secarik kertas “Ahmadika”. Lelaki itu tersadar bahwa aku terbatas dalam berkomunikasi. Seiring berjalannya waktu, karena kesibukanku yang terus mengetik diapun mulai melirik ke buku mayaku sembari berkata.
“Waah, cerpenmu bagus, Dika!“. Aku tersenyum sembari dalam hati berterima kasih. Lelaki itupun tertarik akan tulisan mayaku sembari berkata.
“Kamu mau ngak buat bisnis Platform yang di dalamnya terdapat berbagai karya sastra dan termasuk cerpen yang bagus ini, Dika?“. Akan bingung akan yang dikatakan sembari menulis di atas kertas.
“Maksudnya?“. Ia pun menjelaskan secara detail usaha yang sedang ditawarkan.
“Jadi begini, kita akan membuat platform yang di dalamnya terdapat karya sastra baik itu cerpen, jurnal dan lain sebagainya. Keuntungannya lumayan besar loh dan nanti kita bermitra dengan pihak google ataupun pihak lain yang bergerak di bidang digital “.
“Jadi bagaimana mau nggak?”. Akupun dengan semangat mengangguk dia lalu melanjutkan bicaranya.
“Kamu punya ide nama usaha kita nggak? “. Dengan semangat akupun menulis.
“KamSas/kamus sastra”.
“Waah ide yang sangat bagus Dika “. Dengan wajah yang semangat, kuteringat sebuah ide tambahan lalu kutulis dalam secarik kertas.
“Bagaimana kalau kita gunakan juga prinsip syariah dengan cara kita menggunakan akad syirkah“. Diapun menjawab.
“Tentu saja boleh agar kita bisa menggunakan akad ini untuk mengikat dan juga nanti kita bisa gunakan jika ada yang ingin bergabung”. Dan akhirnya kami membicarakan hingga larut malam dan mulai melaksanakannya.
***
Setahun telah berlalu, bisnis yang telah kami bangun akhirnya berkembang dengan pesat. Setahun itu juga begitu banyak prelajaran dan tantangan dalam berproses dan tiada hentinya aku mengucap rasa syukur sebesar besarnya kepada Tuhan walaupun keterbatasanku aku masih bisa bermanfaat dengan cara menulisku.
Jika dulu aku tak memulai, mungkin sekarang aku tak akan jadi apa-apa, mungkin masih banyak teman-teman yang memiliki keterbatasan di luar sana yang akan menganggur. Ini bukan sekedar bisnis tapi juga wadah untuk memfasilitasi teman-teman agar tetap bisa mengembangkan karyanya dan Dengan melalui usaha ini juga dapat bermanfaat bagi orang orang yang membutuhkan motivasi, referensi dan bahan untuk berproses.
Setiap manusia punya kekurangan dan kelebihan masing-masing, namun Tuhan juga memberi kita potensi untuk tetap berkembang dan berusaha. Pergunakan waktu yang kita miliki untuk berbuat baik kepada banyak orang. Jangan jadikan kekurangan sebagai penghalang dan jangan pernah berhenti di tengah jalan, karena tak ada yang tahu seperti apa akhir dari jalan yang kau ambil.
Manusia yang hanya ingin berdiskusi dengan angin dan sederet impian yang ditulis secarik kertas yang isinya Menjadi manusia yang bermanfaat, mempunyai usaha sendiri, mempunyai pengalaman hidup yang berarti, menjadi inspirasi banyak orang, mempunyai banyak relasi, dapat bersaing dengan orang lain dan lain sebagainya. Kini telah tercapai.
Penulis : Rezky Aditya (Kader FORKEIS UIN Alauddin Makassar)
0 Komentar