“Kakak apa-apaan sih? Itu kan tabungan
buat kuliah aku nanti, sudah tahu kondisi
ekonomi kita seperti ini malah di pakai buat orang enggak jelas kayak gitu,” teriak gadis remaja yang terlihat emosi itu.
“Bukan begitu Ra, orang itu datang
karena sangat butuh bantuan, jika tidak nyawa
anaknya tak akan selamat,” jawab sang kakak menerangkan.
“Tapi tetap saja, kakak terlalu baik ke
semua orang, buktinya kakak tertipu begitu saja,”
ucapnya merasa putus asa.
“Kakak minta maaf Ra, untuk biaya kuliah
kakak bisa cari lagi nanti. Kakak yakin kok, Rara masih bisa kuliah.”
“Udalah Kak, capek tau ngomong sama
orang sok benar kayak Kakak.” Gadis tersebut pergi dengan rasa marah bercampur
kecewa.
Tak kusangka kejadian itu membuat
harapan akan impianku harus kandas di tengah
jalan. Baru saja sebulan lalu aku lulus SMA dan dengan senangnya ingin melanjutkan kuliah, namun ditampar
dengan kabar yang membuatku harus merelakan cita-cita
yang kuinginkan. Melanjutkan pendidikan dengan kondisi
ekonomi seperti ini, tentu tidak memungkinkan bagiku.
Entah apa yang membuat kakakku
berpikiran untuk membantu wanita paruh baya
itu, yang tempo hari datang ke rumah memohon bantuan. Dengan alasan bahwa ia membutuhkan biaya operasi untuk
anaknya yang mengalami kecelakaan. Sikap
kakakku yang amat baik hati langsung percaya begitu saja, membuat uang tabungan
yang kami simpan bersama harus terkuras demi membantu wanita tersebut.
Namun naasnya si wanita paruh baya itu sampai sekarang tak pernah lagi terlihat.
***
Semenjak kejadian itu, aku jarang bertegur sapa dengan kakakku. Sesekali ia bertanya padaku hanya kujawab dengan singkat. Aku tidak membencinya, tidak. Hanya saja rasa kecewa yang mendominasi ini membuatku enggan untuk bercengkrama dengannya. Ini bukan sekali dua kali ia melakukan hal tersebut, meskipun kutahu niatnya begitu baik membantu orang lain.
Semenjak kepergian ayah dan ibu, dialah
yang menjadi tulang punggung keluarga
kami, yah… keluarga yang hanya ada aku dan dirinya. Dia menjadi sosok
pekerja keras, tak pernah mengeluh atas lelah yang ia dapat, bahkan ia bekerja lebih keras dari kebanyakan pemuda
pada umumnya. Di pagi hingga sore hari
ia bekerja sebagai kurir, dan di malam hari ia beralih profesi sebagai pelayan di cafe.
Namun,
terkadang aku merasa kesal dengannya, ia selalu saja mementingkan diri sendiri dan daripada aku. Saat aku meminta uang untuk membeli sepeda saat SMA, dia menolak
dengan alasan masih bisa mengantarku dengan
motor bututnya. Gaji yang ia dapatkan dari hasil kerjanya sebagai kurir seharusnya lebih dari cukup untuk memenuhi
kebutuhan kami, tapi kakakku itu seringkali
membeli barang yang menurutku tidak begitu penting, entah itu buku dongeng
atau barang aneh lainnya.
Pernah
suatu waktu, aku dipanggil pihak sekolah karena terlambat membayar uang SPP, kupikir kakakku sudah
membayar karena sebelumnya aku tidak
pernah terlambat. Namun, saat ku tanyakan padanya dia hanya menjawab bahwa uangnya digunakan dulu untuk
membantu temannya membayar utang. Aku geram kala itu,
namun tak bisa juga berbuat
apa-apa.
Sebulan
belakangan ini aku melihatnya sangat sibuk, setelah
sholat magrib ia selalu keluar rumah entah ke mana.
Bahkan di hari libur pun ia lebih banyak menghabiskan
waktu di luar. Hal ini tentu membuatku penasaran, tapi aku enggan untuk bertanya. Hingga suatu ketika aku
mencoba mengikutinya diam-diam, dia menuju ke sebuah
rumah yang tak pernah kukunjungi sebelumnya.
Saat kulihat dia turun dari motornya dan menuju rumah tersebut, aku tertegun melihat apa yang ada dihadapanku. Banyak anak-anak kecil yang sedang berebut mainan di halaman rumah itu, dengan umur sekitar 5-10 tahun bahkan ada yang masih balita. Satu yang kutangkap dari tempat ini, yah … ini panti, panti asuhan. Kutunggu sampai kakakku pergi dari tempat ini, kemudian kuberanikan diri untuk masuk ke sana setelah kakakku pergi
“Rara ya, Adiknya Dewa?” tanya seorang pemuda yang menghampiriku. “Iya, kamu siapa? Dan dari mana tau nama saya?” tanyaku kembali.
“Saya Fahmi, teman kakak kamu. Saya tahu karena Dewa banyak cerita tentang kamu, ayo masuk dulu.” Aku masuk mengikuti langkah pemuda itu seraya memperhatikan isi panti ini.
“Eh … Nak, Rara.” Aku agak terkejut, wanita paruh baya ini … dia orang yang datang ke rumah saat itu.
“Perkenalkan saya Sumi, pengasuh
panti ini,” sapanya
dengan senyum seraya memperkenalkan diri. Wanita ini banyak bercerita
tentang kakakku, tentang
kebaikannya telah menolong panti
ini.
“Kamu ingatkan saya pernah datang ke
rumah kalian meminjam uang, saat itu
saya benar-benar tidak tahu lagi harus minta tolong ke mana. Jika saat itu Nak Dewa tak menolong
saya, entah bagaimana
nasib anak itu” tunjuknya pada seorang anak yang tengah duduk di kursi roda, anak yang dioperasi karena kecelakaan.
“Nak Dewa juga setiap malam datang
membacakan dongeng untuk anak- anak
di sini, dia juga yang membantu
melunasi semua utang panti ini. Kami sangat
berterima kasih pada Nak Dewa, berkatnya panti ini masih bisa bertahan dan menunjang hidup anak-anak di sini.”
Mendengar penjelasan wanita itu, aku terdiam merenung,
pertanyaan demi pertanyaan
muncul diotakku.
“Kenapa Kak Dewa melakukan semua ini tanpa memberi tahuku?” tanyaku pada teman kakakku itu.
“Dia ingin kau fokus belajar, dan tidak ingin kau terbebani dengan semua ini.”
“Dan alasan Dewa ingin membantu kami,
karena dia merasa bahwa kami di sini
itu sama. Sama seperti dia yang tak punya orang tua, dia tau bagaimana beratnya hidup tanpa ayah dan ibu, tapi
Dewa bersyukur masih punya adik yang selalu bersamanya. Sedangkan anak-anak
di sini, mereka
tak punya siapa-siapa.”
“Dewa adalah orang yang baik, dia orang
yang tak mementingkan dirinya sendiri, dia bekerja lebih keras demi membantu lebih banyak
orang.”
Seketika diriku merasa sangat berdosa pada saudaraku sendiri. Ucapan pemuda ini membuatku sadar akan perbuatanku selama ini. Aku dibutakan oleh ego sehingga tak dapat melihat kebenaran. Aku melihat, tapi buta. Aku mendengar, tapi tuli, merasa paling benar tanpa mau mendengarkan penjelasan. Aku selalu minta dimengerti tanpa mau mengerti orang lain.
“Ini milikmu, Ra.” Pemuda itu memberiku selembar amplop berwarna putih.
“Apa ini?” tanyaku padanya, alih-alih menjawab pemuda itu hanya melemparkan senyuman.
Saat kubuka, ternyata itu adalah cek yang menampilkan sejumlah uang dengan nominal yang sangat banyak.
“Ini adalah balas budi dari orang tua
angkat anak di kursi roda itu, yang diselamatkan
oleh kakakmu beberapa bulan lalu.” Lagi-lagi aku dibuat tertegun atas kejadian
hari ini.
“Ingat, Ra. Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan pula.”
Yah… aku ingat, itu potongan ayat al-Qur’an surah ar-Rahman ayat 60. Dari sini aku belajar, belajar untuk tidak melihat segala sesuatu dari sudut padang kepentingan diri kita sendiri. Belajar bersyukur atas apa yang Allah beri, tanpa melihat banyak sedikitnya pemberian itu.
0 Komentar