script> var linkMagzSetting = { menuSticky : true, relatedPosts : true, jumlahRelatedPosts: 4, relatedPostsThumb: true, infiniteScrollNav : true, tombolDarkmode : true, scrollToTop : true, fullwidthImage : true, bacaJuga : true, jumlahBacaJuga : 3, judulBacaJuga : "Baca Juga", showHideTOC : true, judulTOC : "Daftar Isi", tombolPesanWA : true, judulPesanWA : "Pesan via WhatsApp", nomorWA : 6285729848098, teksPesanWA : "Halo admin. Saya mau pesan", };
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Musaqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah

Apa yang dimaksud dengan musaqah, muzara’ah, dan mukhabarah?

    Di dalam hukum Islam, bagi hasil dalam usaha pertanian dinamakan muzara’ah dan Mukhabarah. Kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang hampir sama, hanya dibedakan dari benih dan bibit tanaman. Secara etimologi kata muzara’ah berasal dari bahasa arab yaitu al-zar’u, yang berarti tanaman. Muzara’ah secara bahasa merupakan suatu bentuk kata yang mengikuti wazan (pola) mufa’alah dari kata dasar alzar’u yang mempunyai arti al-inbat (menumbuhkan).

    Muzara’ah ialah bentuk muamalah antara dua belah pihak, yakni serupa dengan mukhabarah, di mana perbedaannya terletak pada asal bibit atau modal yang digunakan dalam kerja sama tersebut. Apabila bibit tanaman atau modal tersebut sebagian besar dari pemilik tanah, maka akad bagi hasil tersebut muzara’ah. Sedangkan apabila bibit tanaman atau modal tersebut sebagian besar dari penggarap atau pengelola tanah, maka akad bagi hasil itu disebut mukhabarah . Sedangkan untuk musaqah adalah kerjasama antara pemilik lahan dan petani yang menyediakan tenaga, bibit, dan alat pertanian, yang ketika panen hasilnya akan dibagi sesuai dengan kesepakatan.  Jadi dengan kata lain, mukhabarah dan muzara’ah merupakan bagian dari musaqah, yang mana apabila bibit dan modal lebih banyak dari petani maka disebut mukhabarah, dan apabila bibit dan modal lebih banyak dari pemilik lahan maka disebut muzara’ah.

Apakah dasar hukum bolehnya musaqah, muzara’ah, dan mukhabarah?

    Dasar hukum yang digunakan dalam memutuskan hukum dari akad muzara’ah, mukhabarah, dan musaqah itu sama. Kebanyakan dari dasar ini berasal dari hadits. Hal ini dikarenakan tidak adanya ayat Al-Quran yang secara spesifik menyebut persoalan muzara’ah, mukhabarah, dan musaqah. Adapun hadits-hadits yang menjadi rujukan diperbolehkannya muzara’ah, mukhabarah, dan musaqah antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya:

    “Dari Thawus ra bahwa dia suka bermukhabarah. Amru berkata: lalu aku katakan padanya, ‘ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi Saw telah melarang mukhabarah. Lantas Thawus berkata: hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw tidak melarang mukhabarah itu, hanya beliau berkata: seorang memberi manfaat kepada saudaranya lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu”. (HR.Muslim) 

    Melalui hadits tersebut diceritakan bahwa Amru pernah menegur Thawus yang suka melakukan mukhabarah. Dia memperingatkan Thawus bahwa jika dia tidak segera berhenti maka dia nantinya akan ditegur langsung oleh Rasulullah Saw sendiri. Namun, Thawus mengatakan bahwa Ibnu Abbas telah mengatakan sebelumnya bahwa Rasulullah Saw sama sekali tidak melarang mukhabarah. Hadits lain yang menyebut terkait diperbolehkannya muzara’ah, mukhabarah, dan musaqah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas ra. Seperti yang dikutip dari Suhendi dalam bukunya Fiqh Muammalah yaitu:  

Artinya:

    “Sesungguhnya Nabi SAW tidak mengharamkan ber-muzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyatangi sebagian yang lain, Dalam redaksi yang lain, “Barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu”. (HR. Bukhori)

    Hadist tersebut menerangkan redaksi bahwa Nabi Saw tidak mengharamkan muzara’ah namun mengatakan bahwa akan lebih baik memberi manfaat kepada orang lain daripada mengambil manfaat dari orang lain. Sedangkan untuk hadits lainnya diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi:

Artinya:

    Dari ibnu Umar, “Sesungguhnya Nabi Saw telah memberikan kebun beliau kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan baik dari buah-buahan maupun dari hasil pertahunan (palawija)”. (HR.Muslim) 

    Hadits tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah pernah melakukan praktik memberikan tanahnya kepada orang lain untuk digarap yang mana dengan ketentuan sebagian hasilnya akan diberikan kepada beliau. Dari beberapa hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa akad muzara’ah, mukhabarah, dan musaqah diperbolehkan selama tidak melanggar ketentuan lain dalam hukum Islam.

Apa saja rukun serta syarat musaqah, muzara’ah, dan mukhabarah?

    Akad muzara’ah memiliki makna yang hampir sama dengan akad mukhabarah. Perbedaan keduanya hanya terletak pada asal benih dari kedua akad tersebut. Oleh karena keduanya memiliki makna yang sama dan komponen pelaksanaannya sama, maka antara rukun/syarat muzara’ah dan rukun/syarat mukhabarah itu juga sama. Adapun rukun tersebut yaitu:

    Orang yang berakad

    Akad (Shighat, ijab dan juga qabul)

    Tanah

    Modal atau benih

    Alat-alat untuk menanam 

    Sedangkan syarat-syarat akad muzara’ah dan mukhabarah menurut pandangan ulama yaitu segala yang berkaitan dengan orang yang sedang berakad, benih yang akan ditanam, lahan yang akan diolah, hasil panen, dari masa berlakunya akad.

Syarat-syarat tersebut sebagai berikut:

    Orang yang melakukan akad harus baligh dan berakal.

    Benih yang akan ditanam harus jelas dan menghasilkan, sehingga penggarap mengetahui dan dapat melaksanakan apa yang diinginkan  oleh pemilik lahan pertanian.

Lahan pertanian yang dikerjakan :

    Menurut adat kebiasaan dikalangan petani, lahan itu bisa diolah dan menghasilkan. Sebab, ada tanaman yang tidak cocok ditanami pada daerah tertentu.

    Batas-batas lahan itu jelas.

    Lahan itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk diolah dan pemilik lahan tidak boleh ikut campur tangan untuk mengolahnya.

    Hasil yang akan dipanen

    Pembagian hasil panen harus jelas (persentasenya).

    Hasil panen itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa ada pengkhususan seperti disisihkan terlebih dahulu sekian persen. Persyaratan ini pun sebaiknya dicantumkan dalam perjanjian sehingga tidak timbul perselisihan dibelakang hari, terutama sekali lahan yang dikelola sangat luas.

    Jangka waktu harus jelas dalam akad, sehingga pengelola tidak di rugikan, seperti membatalkan akad itu sewaktu-waktu. Untuk menentukan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat.

    Objek akad harus jelas pemanfaatan benihnya, pupuk dan obatnya, seperti yang berlaku pada daerah setempat. 

Adapun musaqah memiliki rukun dan syarat berbeda. Syarat-syarat musaqah antara lain:

    Ucapan yang dilakukan dengan Jelas/ Akad.

    Kedua belah pihak yang melakukan transaksi Al-Musaqah harus mampu dalam bertindak yaitu dewasa.

    Obyek Al-Musaqah 

    Hasil yang dihasilkan dari kebun merupakan hak bersama.

    Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap.

    Lamanya perjanjian itu harus jelas, karena transaksi ini hampir sama dengan transaksi ijarah/ sewa menyewa. 

Adapun untuk rukun musaqah adalah:

    Muzari (petani)

    Shahibul mal (pemilik lahan)

    Lahan (dari pemilik lahan).

    Alat pertanian dan bibit (dari petani)

    Ijab kabul 

Kapan berakhirnya akad musaqah, muzara’ah, dan mukhabarah?

    Penyebab berakhirnya akad muzara’ah, mukhabarah, ataupun musaqah disandarkan pada penyebab batalnya akad secara umum. Hal ini dikarenakan tidak ada penjelasan khusus dari Al-Quran maupun hadits tentang penyebab batalnya akad-akad tersebut. Adapun penyebab-penyebab batalnya akad muzara’ah, mukhabarah, ataupun musaqah yaitu:

    Jangka waktu akad atau perjanjian telah selesai. Bisa dikatakan di masa panen telah selesai dan hasil telah dibagi sesuai kesepakatan.

    Salah-satu pihak yang melakukan akad/kesepakatan meninggal dunia.

    Adanya uzur yang membatalkan akad. Menurut ulama Hanafiyah, uzur yang dapat membatalkan akad yaitu :

    Tanah garapan terpaksa dijual/digadaikan, karena mesti membayar hutang. 

    Penggarap tidak bisa menggarap tanah, ini dapat terjadi dikarenakan penggarap sakit, jihad di jalan Allah Swt, dan lainnya.

    Adanya pembatalan akad dikarenakan alasan tertentu, baik dilakukan oleh pemilik lahan maupun dari penggarap lahan. Ataupun disepakati oleh keduanya untuk dibatalkan. 



Posting Komentar untuk "Musaqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah"