script> var linkMagzSetting = { menuSticky : true, relatedPosts : true, jumlahRelatedPosts: 4, relatedPostsThumb: true, infiniteScrollNav : true, tombolDarkmode : true, scrollToTop : true, fullwidthImage : true, bacaJuga : true, jumlahBacaJuga : 3, judulBacaJuga : "Baca Juga", showHideTOC : true, judulTOC : "Daftar Isi", tombolPesanWA : true, judulPesanWA : "Pesan via WhatsApp", nomorWA : 6285729848098, teksPesanWA : "Halo admin. Saya mau pesan", };
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

UTANG PIUTANG DALAM FIQH MUAMALAH BY TIM FGD UTANG PUTANG

 PENDAHULUAN

Seiring dengan cepatnya akselerasi wacana ekonomi Syari’ah di tengah-tengah masyarakat, fiqih muamalah menjadi bahan diskusi terus menerus. Persoalan yang selalu mengemuka adalah apakah fiqih muamalah persoalan hukum ataukah persoalan ekonomi. Di dalam muamalat dibahas tentang berbagai macam teknis transaksi dalam hubungannya dengan aktifitas melakukan produksi, distribusi, dan konsumsi, maka muamalah sarat dengan isu-isu ekonomi, namun di sisi lain dalam muamalah juga digariskan tentang berbagai ketentuan dan persyaratan yang harus dipenuhi agar sebuah aktifitas produksi, distribusi dan konsumsi tersebut dianggap sah, maka muamalah sarat dengan isu-isu hukum. Maka tidak salah jika isu-isu muamalah memang terkandung makna ekonomi dan hukum sekaligus.

Adanya  kecenderungan  dalam  melakukan  interaksi sosial adalah salah bukti bahwa manusia adalah makhluk lemah yang tidak akan sempurna dalam mempertahankan kehidupan tanpa bantuan dan peranan orang lain dalam hidupnya. Tentunya hal semacam ini berlaku dalam segala hal, termasuk dalam pemenuhan rezeki.  Banyak  cara  yang dilakukan Allah Swt. dalam menyampaikan rezeki

pada hamba-Nya. Diantaranya adalah melalui disyariatkannya praktik transaksi hutang piutang sebagai salah satu aspek pemenuh hajat hidup via interaksi sosial. Sebuah transaksi yang sarat akan keistimewaan dan keutamaan yang dijanjikan Allah bagi pelakunya (pemberi hutang).

Praktik hutang piutang yang kita tahu, selain terdapat sisi positif melalui asas tolong menolongnya, namun tak jarang juga menjadi titik mula perselisihan dan permusuhan diantara manusia. Hal itu akan menjadi nyata mana kala dalam praktiknya, manusia mengacuhkan beberapa prinsip fundamen yang menjadi rangka bangun dilegalkannya praktik tolong menolong ini; yakni kejujuran. Seolah sudah menjadi tabiat manusia jika bersinggungan dengan hal-hal yang bernuansa harta keduniawian mereka lupa dan mudah terlena begitu saja hingga memunculkan sesal di kemudian hari.

Dengan membaca hukum-hukum syara’ yang menyangkut masalah ekonomi tersebut, nampaklah bahwa Islam telah memecahkan masalah bagaimana agar manusia bisa memanfaatkan kekayaan yang ada. Dan inilah yang sesungguhnya, menurut pandangan Islam, dianggap sebagai masalah ekonomi bagi suatu masyarakat. Sehingga ketika membahas ekonomi, Islam hanya membahas masalah bagaimana cara memperoleh kekayaan, masalah mengelolah kekayaan yang dilakukan oleh manusia, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah mereka. Atas dasar inilah, maka hukum-hukum yang menyangkut masalah ekonomi dibangun di atas tiga kaidah, yaitu kepemilikan (property), pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan di tengah- tengah manusia.

PEMBAHASAN

Pengertian Qard

Secara etimologi, qard berarti potongan. Harta yang dibayarkan kepada muqtarid (yang diajak akad qarad) dinamakan qarad, sebab merupakan potongan harta muqarid (orang yang membayar). Sedangkan pengertian al-qardh secara terminologi, antara lain dikemukakan oleh beberapa ulama, yakni;

1. Mazhab Hanafi,

Qardh adalah sesuatu yang diberikan dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya.

2. Mazhab Maliki,

Qardh adalah suatu penyerahan harta kepada orang lain yang tidak disertai iwadh

(imbalan) atau tambahan dalam pengembaliannya.

3. Mazhab Syafi‟i,

Qardh adalah akad pemilikan sesuatu untuk dikembalikan dengan yang sejenis atau yang sepadan.

4. Mazhab Hanbali,

Qardh adalah menyerahkan harta kepada orang yang memanfaatkan dengan ketentuan ia harus mengembalikan gantinya

Menurut fatwa, al-qardh ialah, “akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada LKS pada waktu yang telah disepakati oleh LKS dan nasabah”.

Dari beberapa definisi diatas diketahui bahwa sesungguhnya qardh merupakan salah satu jenis pendekatan kepada Allah dan merupakan jenis muamalah yang berprinsip ta’awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya, karena muqtaridh (penghutang) tidak diwajibkan memberikan iwadh (tambahan) dalam pengembalian harta yang dipinjamnya itu kepada muqridh (yang memberikan pinjaman), karena qardh menumbuhkan sifat mengasihi dan memberikan kemudahan serta memberikan jalan keluar dari permasalahan yang dialami.

Rukun dan Syarat Qard

Rukun qard adalah sesuatu yang harus ada ketika qardh berlangsung seperti halnya jual beli, rukun qardh juga diperselisihkan oleh para fuqaha. Rukun qardh terdiri dari:

a. Muqridh : orang yang mempunyai barang-barang untuk diutangkan

b. Mustaridh : orang yang mempunyai utang

c. Muqtaradh : obyek yang berutang

d. Sighat akad : ijab kabul

 Yang disyaratkan harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum dan barang yang dihutangkan disyaratkan berbentuk barang yang dapat diukur/ diketahui jumlah maupun nilainya. Disyaratkannya hal ini agar pada waktu pembayaran tidak menyulitkan, sebab harus sama jumlah/ nilainya dengan jumlah/ nilai barang yang diterima. Dan apabila syarat tidak terwujud, maka transaksi qardh batal.

Qardh Dalam Lembaga Keuangan Syariah

Qardh adalah pinjaman uang. Pinjaman qardh biasanya diberikan oleh bank kepada nasabahnya sebagai fasilitas pinjaman talangan pada saat nasabah mengalami overdraft. Fasilitas ini dapat merupakan bagian dari satu paket pembiayaan lain, untuk memudahkan nasabah bertransaksi.

Qardh biasanya digunakan untuk menyediakan dana talangan kepada nasabah prima dan untuk menyumbang sektor usaha kecil/ mikro atau membantu sektor sosial. Sifat qardh tidak memberikan keuntungan finansial, karena itu, pendanaan qardh dapat diambil menurut kategori berikut;

a. Al-Qardh yang diperlukan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan berjangka pendek. Talangan di atas dapat diambilkan dari modal bank

b. Al-Qardh yang diperlukan untuk usaha sangat kecil dan keperluan sosial, dapat bersumber dari dana zakat, infak, dan sedekah.

Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal:

1. Sebagai pinjaman talangan haji, di mana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatan haji.

2. Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, di mana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik Bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikan sesuai waktu yang ditentukan.

3. Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil di mana menurut perhitungan Bank akan memberatkan si pengusaha bila diberi pembiayaan dengan skema jual-beli ijarah atau bagi hasil.

4. Sebagai pinjaman kepada pengurus Bank, di mana Bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus Bank. Pengurus Bank akan mengembalikannya secara cicilan melalui pemotongan gajinya.

Dalam perihal tersebut, Bank diperkenankan mengenakan biaya administrasi, sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO: 19/ DSN- MUI/IV/2001 Tentang Al- Qardh yang memperbolehkan untuk memberi pinjaman agar membebankan biaya administrasi kepada nasabah. Dalam penetapan besarnya biaya administarsi sehubungan dengan pemberian qardh, tidak boleh berdasarkan perhitungan persentasi dari jumlah dana qardh yang diberikan.

Kasus

Ilma, meminjamkan uangnya kepada Fia dengan bunga yang disetujui kedua belah pihak sebesar 13 %. Perjanjian tersebut dilakukan dengan lisan (tanpa perjanjian tertulis), Saskia berasumsi bahwa perjanjian lisan ini dapat ditepati oleh Fia (karena Ilma percaya sepenuhnya kepada Fia, dikarenakan Fia masih ada hubungan keluarga dengan Ilma. Fia adalah istri dari sepupu kandung Ilma). Hubungan Pinjam meminjam berlangsung sampai mencapai angka rupiah yang cukup besar (sekitar 60 jutaan), Ilma terus meminjamkan karena tergiur oleh bunga yang disepakatinya. Sampai pada batas waktu tertentu Saskia sadar akan kondisi keuangannya, Saskia lalu menagih pinjaman uang tersebut kepada Fia.

Fia berjanji akan membayar pada tanggal yang sudah ditentukan, tetapi selalu ada alasan (seperti dirampok, kecopetan dll). Suatu saat Ilma menagih kembali kepada Fia, Fia dengan yakin menjawab bahwa sebagian uang tersebut sudah dikirim via ATM BCA ke no. rek Ilma (bukti transfer ATM BCA dikirim lewat Fax ke kantor Ilma), tetapi setelah diperiksa (lewat print out) uang tersebut tidak ada, menurut petugas bank bukti transfer ini tidak benar atau palsu. Ilma dan keluarga (saudara-saudaranya) datang ke rumah Fia, kesimpulan yang didapat dari kunjungan tersebut Fia bersedia membuat pernyataan yang isinya menyatakan bahwa Fia mengakui memiliki hutang kepada Ilma sebesar sekian juta rupiah dan akan dilunasi pada tanggal 21 Februari tahun 2022. Apabila Fia tidak melunasi pada tanggal tersebut maka persoalan akan diselesaikan melalui jalur hukum. Surat

pernyataan tersebut ditandatangani pula oleh suaminya Fia sebagai penanggungjawab. Pada tanggal yang sudah ditentukan Fia (suami) hanya membayar kurang lebih 25 % dengan alasan 75 %-nya sudah dibayar cash kepada Ilma pada waktu lalu yang dibawa sendiri oleh Fia ke kantor Ilma. Menurut pengakuan Ilma hal tersebut tidak pernah terjadi, sampai Ilma pun berani diangkat sumpah. Sampai saat ini Fia selalu mencari-cari kesalahan Ilma, dan pernah pada suatu hari Fia telepon ke kantor Ilma dan mengaku dari Polda untuk menangkap Ilma. Bagaimana tanggapan kamu terhadap kasus diatas? Syariat apa yang dilanggar oleh Ilma dan Fia

Tinjauan Kasus Menurut Islam

Dari kasus diatas Fia telah gagal memenuhi persyaratan yang telah disepakati. Keduanya sama-sama melanggar syariat islam dengan mengadakan bunga sebesar 13%. Padahal dalam islam bunga termasuk kedalam riba. Sebagaimana dijelaskan dalam surah Al Baqarah Ayat 278-280 :

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba, jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak meninggalkan, maka umumkanlah perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika kalian bertaubat, maka bagi kalian adalah pokok harta kalian. Tidak berbuat dhalim lagi terdhalimi. Dan jika terdapat orang yang kesulitan, maka tundalah sampai datang kemudahan. Dan bila kalian bersedekah, maka itu baik bagi kalian, bila kalian mengetahui." (QS Al-Baqarah: .)278-280
Selain telah melanggar syariat islam berupa Riba Ilma dan Fika juga tidak menerapakan salah satu perintah Allah SWT. dalam surah Al-Baqarah ayat 282;



Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai (berutang) untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu,” (QS. Al-Baqarah [2]: 282).

Pada ayat tersebut Allah memerintahkan untuk melakukan pencatatan agar tidak lupa karena manusia tempatnya khilaf. Manfaat dari pencatatn utang yaitu untuk mengklaim apabila salah satu pihak mangkir dari utang tersebut. Sedangkan pada kasus diatas Ilma dan Fia tidak melakukan pencatatan karena Ilma merasa Fia adalah keluarganya jadi hal tersebut tidak perlu dilakukan sehingga pada akhirnya terjadilah
 
sesuatu yang tidak diinginkan Fia mangkir dari pembayaran utang yang telah ia janjikan sebelumnya. Sehinggaa tentu saja merugikan pihak Ilma.

KESIMPULAN

Pembahasan diatas sudah banyak mengurai tentang tata cara utang piutang yang diajarkan oleh al-quran terutama dalam surat al-Baqarah 282 dan ayat 283. Yang mana membahas mengenai pembahasan utang piutang, maka dapat disimpulkan bahwa;

1. Dalam agama islam prilaku utang piutang diperkenankan asal dengan bil baik dan benar sesuai ketentuan agama.
2. Dalam transaksi utang piutang setiap muslim diwajibkan untut mencatat setiap utang yang dilakukan, karena dengan begitu akan mengantisipasi hal-hal buruk yang   akan   terjadi   selama   proses   akad   masih   berlangsung.
 
DAFTAR PUSTAKA

Akramunnas, & Irawati. (2008). Pengetahuan masyarakat tentang riba terhadap perilaku utang piutang di Kecamatan Anreapi Polewali Mandar. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 109–122.

Andriyana, D. (2020). Konsep Utang Dalam Syariat Islam. Jurnal Al-Fatih Global Mulia, 2(2), 49–64. https://doi.org/10.59729/alfatih.v2i2.22

Novita, C. (n.d.). Ayat Al-Quran Tentang Utang-Piutang, Pinjaman, Dosa Tak Melunasinya. 11 Nov 2021. https://tirto.id/ayat-al-quran-tentang-utang-piutang- pinjaman-dosa-tak-melunasinya-gleP

Oswaldo, I. G. (n.d.). Utang?, Apa Itu Piutang? Apakah Beda dengan. Detik News 08 Apr 2022.

Riadhus Sholihin. (2020). Kedudukan Pencatatan Hutang Perspektif Fiqh Muamalah. Al- Mudharabah: Jurnal Ekonomi Dan Keuangan Syariah, 2(1), 142–159. https://doi.org/10.22373/al-mudharabah.v2i1.823

Rofi’ah, T. N., & Fadila, N. (2021). Utang Piutang Dalam Perspektif Ekonomi Islam. Ar- Ribhu : Jurnal Manajemen Dan Keuangan Syariah, 2(1), 96–106. https://doi.org/10.55210/arribhu.v2i1.559

Yunita, N. W. (n.d.). Ayat Tentang Riba dan Penjelasannya. 22 Vovember 2019. https://news.detik.com/berita/d-4793327/ayat-tentang-riba-dalam-alquran-ini-
penjelasannya

Zamrodah, Y. (2016). TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG UTANG PIUTANG
TANPA BATAS WAKTU (Studi Kasus Warung Sembako Di Desa Sidodadi Kec. Sidomulyo Kab. Lampung Selatan Prov. Lampung) SKRIPSI. 15(2), 1–23.

PENULIS

1. Iski Awalia
2. Saskia Putri Malewa
3. Basma
4. Awaluddin
5. Ibnu Arabi
6. Syahrul
7. Asfira Mansur

Posting Komentar untuk "UTANG PIUTANG DALAM FIQH MUAMALAH BY TIM FGD UTANG PUTANG"