UTANG PIUTANG DALAM FIQH MUAMALAH BY TIM FGD UTANG PUTANG
PENDAHULUAN
Seiring dengan cepatnya akselerasi wacana ekonomi Syari’ah di tengah-tengah masyarakat, fiqih muamalah menjadi bahan diskusi terus menerus. Persoalan yang selalu mengemuka adalah apakah fiqih muamalah persoalan hukum ataukah persoalan ekonomi. Di dalam muamalat dibahas tentang berbagai macam teknis transaksi dalam hubungannya dengan aktifitas melakukan produksi, distribusi, dan konsumsi, maka muamalah sarat dengan isu-isu ekonomi, namun di sisi lain dalam muamalah juga digariskan tentang berbagai ketentuan dan persyaratan yang harus dipenuhi agar sebuah aktifitas produksi, distribusi dan konsumsi tersebut dianggap sah, maka muamalah sarat dengan isu-isu hukum. Maka tidak salah jika isu-isu muamalah memang terkandung makna ekonomi dan hukum sekaligus.
Adanya kecenderungan dalam melakukan interaksi sosial adalah salah bukti bahwa manusia adalah makhluk lemah yang tidak akan sempurna dalam mempertahankan kehidupan tanpa bantuan dan peranan orang lain dalam hidupnya. Tentunya hal semacam ini berlaku dalam segala hal, termasuk dalam pemenuhan rezeki. Banyak cara yang dilakukan Allah Swt. dalam menyampaikan rezeki
pada hamba-Nya. Diantaranya adalah melalui disyariatkannya praktik transaksi hutang piutang sebagai salah satu aspek pemenuh hajat hidup via interaksi sosial. Sebuah transaksi yang sarat akan keistimewaan dan keutamaan yang dijanjikan Allah bagi pelakunya (pemberi hutang).
Praktik hutang piutang yang kita tahu, selain terdapat sisi positif melalui asas tolong menolongnya, namun tak jarang juga menjadi titik mula perselisihan dan permusuhan diantara manusia. Hal itu akan menjadi nyata mana kala dalam praktiknya, manusia mengacuhkan beberapa prinsip fundamen yang menjadi rangka bangun dilegalkannya praktik tolong menolong ini; yakni kejujuran. Seolah sudah menjadi tabiat manusia jika bersinggungan dengan hal-hal yang bernuansa harta keduniawian mereka lupa dan mudah terlena begitu saja hingga memunculkan sesal di kemudian hari.
Dengan membaca hukum-hukum syara’ yang menyangkut masalah ekonomi tersebut, nampaklah bahwa Islam telah memecahkan masalah bagaimana agar manusia bisa memanfaatkan kekayaan yang ada. Dan inilah yang sesungguhnya, menurut pandangan Islam, dianggap sebagai masalah ekonomi bagi suatu masyarakat. Sehingga ketika membahas ekonomi, Islam hanya membahas masalah bagaimana cara memperoleh kekayaan, masalah mengelolah kekayaan yang dilakukan oleh manusia, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah mereka. Atas dasar inilah, maka hukum-hukum yang menyangkut masalah ekonomi dibangun di atas tiga kaidah, yaitu kepemilikan (property), pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan di tengah- tengah manusia.
PEMBAHASAN
Pengertian Qard
Secara etimologi, qard berarti potongan. Harta yang dibayarkan kepada muqtarid (yang diajak akad qarad) dinamakan qarad, sebab merupakan potongan harta muqarid (orang yang membayar). Sedangkan pengertian al-qardh secara terminologi, antara lain dikemukakan oleh beberapa ulama, yakni;
1. Mazhab Hanafi,
Qardh adalah sesuatu yang diberikan dari harta mitsil (yang memiliki perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Mazhab Maliki,
Qardh adalah suatu penyerahan harta kepada orang lain yang tidak disertai iwadh
(imbalan) atau tambahan dalam pengembaliannya.
3. Mazhab Syafi‟i,
Qardh adalah akad pemilikan sesuatu untuk dikembalikan dengan yang sejenis atau yang sepadan.
4. Mazhab Hanbali,
Qardh adalah menyerahkan harta kepada orang yang memanfaatkan dengan ketentuan ia harus mengembalikan gantinya
Menurut fatwa, al-qardh ialah, “akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada LKS pada waktu yang telah disepakati oleh LKS dan nasabah”.
Dari beberapa definisi diatas diketahui bahwa sesungguhnya qardh merupakan salah satu jenis pendekatan kepada Allah dan merupakan jenis muamalah yang berprinsip ta’awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya, karena muqtaridh (penghutang) tidak diwajibkan memberikan iwadh (tambahan) dalam pengembalian harta yang dipinjamnya itu kepada muqridh (yang memberikan pinjaman), karena qardh menumbuhkan sifat mengasihi dan memberikan kemudahan serta memberikan jalan keluar dari permasalahan yang dialami.
Rukun dan Syarat Qard
Rukun qard adalah sesuatu yang harus ada ketika qardh berlangsung seperti halnya jual beli, rukun qardh juga diperselisihkan oleh para fuqaha. Rukun qardh terdiri dari:
a. Muqridh : orang yang mempunyai barang-barang untuk diutangkan
b. Mustaridh : orang yang mempunyai utang
c. Muqtaradh : obyek yang berutang
d. Sighat akad : ijab kabul
Yang disyaratkan harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum dan barang yang dihutangkan disyaratkan berbentuk barang yang dapat diukur/ diketahui jumlah maupun nilainya. Disyaratkannya hal ini agar pada waktu pembayaran tidak menyulitkan, sebab harus sama jumlah/ nilainya dengan jumlah/ nilai barang yang diterima. Dan apabila syarat tidak terwujud, maka transaksi qardh batal.
Qardh Dalam Lembaga Keuangan Syariah
Qardh adalah pinjaman uang. Pinjaman qardh biasanya diberikan oleh bank kepada nasabahnya sebagai fasilitas pinjaman talangan pada saat nasabah mengalami overdraft. Fasilitas ini dapat merupakan bagian dari satu paket pembiayaan lain, untuk memudahkan nasabah bertransaksi.
Qardh biasanya digunakan untuk menyediakan dana talangan kepada nasabah prima dan untuk menyumbang sektor usaha kecil/ mikro atau membantu sektor sosial. Sifat qardh tidak memberikan keuntungan finansial, karena itu, pendanaan qardh dapat diambil menurut kategori berikut;
a. Al-Qardh yang diperlukan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan berjangka pendek. Talangan di atas dapat diambilkan dari modal bank
b. Al-Qardh yang diperlukan untuk usaha sangat kecil dan keperluan sosial, dapat bersumber dari dana zakat, infak, dan sedekah.
Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal:
1. Sebagai pinjaman talangan haji, di mana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatan haji.
2. Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, di mana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik Bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikan sesuai waktu yang ditentukan.
3. Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil di mana menurut perhitungan Bank akan memberatkan si pengusaha bila diberi pembiayaan dengan skema jual-beli ijarah atau bagi hasil.
4. Sebagai pinjaman kepada pengurus Bank, di mana Bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus Bank. Pengurus Bank akan mengembalikannya secara cicilan melalui pemotongan gajinya.
Dalam perihal tersebut, Bank diperkenankan mengenakan biaya administrasi, sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO: 19/ DSN- MUI/IV/2001 Tentang Al- Qardh yang memperbolehkan untuk memberi pinjaman agar membebankan biaya administrasi kepada nasabah. Dalam penetapan besarnya biaya administarsi sehubungan dengan pemberian qardh, tidak boleh berdasarkan perhitungan persentasi dari jumlah dana qardh yang diberikan.
Kasus
Ilma, meminjamkan uangnya kepada Fia dengan bunga yang disetujui kedua belah pihak sebesar 13 %. Perjanjian tersebut dilakukan dengan lisan (tanpa perjanjian tertulis), Saskia berasumsi bahwa perjanjian lisan ini dapat ditepati oleh Fia (karena Ilma percaya sepenuhnya kepada Fia, dikarenakan Fia masih ada hubungan keluarga dengan Ilma. Fia adalah istri dari sepupu kandung Ilma). Hubungan Pinjam meminjam berlangsung sampai mencapai angka rupiah yang cukup besar (sekitar 60 jutaan), Ilma terus meminjamkan karena tergiur oleh bunga yang disepakatinya. Sampai pada batas waktu tertentu Saskia sadar akan kondisi keuangannya, Saskia lalu menagih pinjaman uang tersebut kepada Fia.
Fia berjanji akan membayar pada tanggal yang sudah ditentukan, tetapi selalu ada alasan (seperti dirampok, kecopetan dll). Suatu saat Ilma menagih kembali kepada Fia, Fia dengan yakin menjawab bahwa sebagian uang tersebut sudah dikirim via ATM BCA ke no. rek Ilma (bukti transfer ATM BCA dikirim lewat Fax ke kantor Ilma), tetapi setelah diperiksa (lewat print out) uang tersebut tidak ada, menurut petugas bank bukti transfer ini tidak benar atau palsu. Ilma dan keluarga (saudara-saudaranya) datang ke rumah Fia, kesimpulan yang didapat dari kunjungan tersebut Fia bersedia membuat pernyataan yang isinya menyatakan bahwa Fia mengakui memiliki hutang kepada Ilma sebesar sekian juta rupiah dan akan dilunasi pada tanggal 21 Februari tahun 2022. Apabila Fia tidak melunasi pada tanggal tersebut maka persoalan akan diselesaikan melalui jalur hukum. Surat
pernyataan tersebut ditandatangani pula oleh suaminya Fia sebagai penanggungjawab. Pada tanggal yang sudah ditentukan Fia (suami) hanya membayar kurang lebih 25 % dengan alasan 75 %-nya sudah dibayar cash kepada Ilma pada waktu lalu yang dibawa sendiri oleh Fia ke kantor Ilma. Menurut pengakuan Ilma hal tersebut tidak pernah terjadi, sampai Ilma pun berani diangkat sumpah. Sampai saat ini Fia selalu mencari-cari kesalahan Ilma, dan pernah pada suatu hari Fia telepon ke kantor Ilma dan mengaku dari Polda untuk menangkap Ilma. Bagaimana tanggapan kamu terhadap kasus diatas? Syariat apa yang dilanggar oleh Ilma dan Fia
Tinjauan Kasus Menurut Islam
Dari kasus diatas Fia telah gagal memenuhi persyaratan yang telah disepakati. Keduanya sama-sama melanggar syariat islam dengan mengadakan bunga sebesar 13%. Padahal dalam islam bunga termasuk kedalam riba. Sebagaimana dijelaskan dalam surah Al Baqarah Ayat 278-280 :
Posting Komentar untuk "UTANG PIUTANG DALAM FIQH MUAMALAH BY TIM FGD UTANG PUTANG"